Makam Kiai Haryo Sambu Dirjo di Lasem. Foto: istimewa. |
Oleh M. Abdullah Badri
MENGUBAH nama makam wali yang ramai diziarahi sangat berbahaya bagi doa peziarah. Kiai Sambu misalnya, bila diubah menjadi Abdurrahman Basyaiban, maka, doa para peziarah bakal berbelok kepada Abdurrahman Basyaiban, dengan catatan: bila nama Abdurrahman itu memang benar-benar ada dan bagian dari waliyullah yang -ahya' inda rabbihim yurzaqun (hidup dan diberi rezeki oleh Allah). Bagi orang yang sudah wafat, doa ada rezeki.
Akibat beloknya doa, Kiai Sambu tidak bisa menghimpun doa para peziarah makamnya. Doa mereka mrucut, ngobos dan hilang raib tak bisa diwushulkan oleh Kiai Sambu kepada Allah. Mungkin saja doa mereka yang mrucut itu ditangkap oleh Abdurrahman Basyaiban dan silaturrahim Kiai Sambu kepada para peziarah pun terputus. Peziarah dibiarkan nyekar karepe dewe tanpa ada doa yang bisa diwushulkan.
Akibat selanjutnya, Abdurrahman Basyaiban yang dijadikan wasilah doa para peziarah itu mendapatkan keistimewaan tersendiri di Jabal Qof, bumi para waliyullah. Nadhrah (perhatian) Allah kepada Abdurrahman Basyaiban lebih banyak daripada nadhrahnya Allah kepada Kiai Sambu.
Mungkin makam Abdurrahman Basyaiban di Yaman sana sepi peziarah karena dekne orak terkenal, tapi, karena namanya disebut terus-menerus oleh para peziarah yang datang ke makam Kiai Haryo Sambu Dirjo bin Kiai Ageng Pemanahan di Indonesia, derajat Abdurrahman Basyaiban bisa jadi lebih mulia daripada Kiai Sambu, sebab ramainya peziarah makam Kiai Sambu.
Oleh karena itu, mengubah nama makam leluhur yang masyhur disebut nama aslinya termasuk kategori merampok doa peziarah. Tentu saja shahibul makam tidak bisa berbuat apa-apa. Baginya, itu adalah urusan manusia hidup. Tapi ingatlah, orang shalih yang diberi hidup oleh Allah seperti para wali, tetap ingin mendoakan para peziarah. Kalau doanya raib pindah ke nama hasil sabotase pengubah, mesakke para peziarah.
Bukan hil mustahal bila Kiai Sambu akhirnya hanya mengakomodir konten doa peziarah yang menyebutnya dengan Sambu saja, seperti orang-orang Lasem sendiri, yang dekat dengan lingkungan makam. Lain itu, beliau berhak abai akibat nama yang tidak sesuai.
Saran, kalaupun Anda menyebut Abdurrahman di makam Kiai Sambu saat ziarah, tambahilah nama Sambu Dirjo di depannya, menjadi: Sambu Dirjo Abdurrahman. Beliau itu bukan sayyid. Tapi disayyid-sayyidkan. Konon, wong urip pertama yang mengubah namanya menjadi Abdurrahman adalah seorang lelaki berjubah hitam. Entah darimana asalnya dan kapan terjadi, wallahu a'lam. Ini sepertinya sudah berlangsung ratusan tahun.
Dan untuk lebih selamat demi wushulnya doa ziarah ke makam siapapun, ucapkan saja Ila Shahib Hadzal Maqom (untuk pemilik kuburan ini). Terutama saat ziarah ke makam-makam yang namanya terdiri banyak versi seperti Kiai Sambu itu, dimana ada yang menyebut dengan nama Ibrahim, Abdurrahman, Sham Bwa Smarakandhi dan Pangeran Syihabuddin Samboe Digda Diningrat.
Saya menambahi satu versi lagi, Haryo Sambu Dirjo. Dia anak ketiga Nyai Sarbinah. Istri Kiai Sambu ada dua, dan anaknya ada 6 orang (dua orang dari istri pertama, dan empat anak dari istri kedua).
Cerita lain, masih saya simpan dan sedang memproses ke sumber-sumber keraton yang saya tahu. Ila hadrati Mbah Haryo Sambu Dirjo, Al-Fatihah! [badriologi.com]