Bahaya Menyimpang dari Kaidah Bahasa Arab -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Bahaya Menyimpang dari Kaidah Bahasa Arab

M Abdullah Badri
Minggu, 29 Desember 2024
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
bahaya penyimpangan kaidah nahwu-shorof arab
Komentar sesuka-suka khas netizen. Foto: dokumen penulis.


Oleh M. Abdullah Badri


ANEH bin ajaib, ada komentator kritikan saya atas syiir Kiai Imad menulis bahwa: "Keindahan suatu syi'ir itu memang dari yang syadz (menyimpang)". Kalau indah itu harus menyimpang, buat apa ada kaidah dibuat oleh ulama' di bidang Nahwu, Shorof, Hadits, Arudl, dan ilmu-ilmu lainnya, terutama terkait bahasa sastra. Bahasa Arab itu bahasanya Al-Qur'an. Di sini tidak berlaku cangkeman: "aturen, terus awuren!".


Kaidah dibuat agar yang menyimpang bisa diprediksi sejak awal. Beberapa contoh saya utarakan. Pertama, Di zaman Abul Aswad Ad-Du'ali -peletak titik huruf Al-Qur'an zaman awal Dinasti Umayyah, ditemukan seorang pemuda membaca Surat At-Taubah Ayat 3:


أَنَّ ٱللَّهَ بَرِىٓءٌ مِّنَ ٱلْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُۥ


Terjemah:

"Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin".


Kata "wa-rasuluh" dibaca dengan kasroh "wa-rosulih". Akhirnya, artinya pun berubah menjadi "Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan utusan-Nya". Mana mungkin Allah berlapas dari utusan-Nya. Hanya beda satu harakat, makna bisa menyimpang.


Agar tidak salah, maka, kaidah ilmu Nahwu harus diterapkan sesuai kaidah. Kata Nahwu sendiri berasal dari انح هذا النحو yang artinya: ikutilah yang semisal ini. Bila tidak sesuai, kamu syadz, menyimpang, dan itu bahaya.


Kedua, kelompok yang tidak setuju menambah kata "sayyidina" sebelum nama Nabi Muhammad Saw berdalil dengan teks yang menurut mereka termasuk hadits Nabi. Teks itu adalah:


لَا تُسَيِّدُونِيْ فِي الصَّلَاةِ


Terjemah:

"Jangan mensayyidkanku dalam shalat (sholawat di tahiyyat)".


Ternyata, setelah diteliti para ulama', kalimat itu bukanlah hadits, hanya dengan melihat penyimpangan kata yang digunakan. Sebagai orang yang paling fashih mengucap huruf Dhod (ض), tidak mungkin Nabi Saw mengeluarkan kalimat yang tidak fushah (benar dan sesuai).


Kata "sayada" (سَيَدَ) tidak dikenal di logat Arab. Yang ada ialah "sada" (سَادَ) yang kalimat aslinya ialah (سَوَدَ). Jadi, kata "sayyiduni" itu menyimpang dari kaidah adat logat Arab. Bila hal ini dinisbatkan kepada Nabi, maka, فليتبوأ مقعده من النار (silakan ambil tempat duduk di neraka). Terbukti bahwa penyimpangan (syadz) bisa menyesatkan banyak orang.


Ketiga, dalam sholawat Busro, ada kata yang menyimpang dari contoh nash Al-Qur'an, yakni: مِنْ يَوْمِ هَذَا اِلى يَوْمِ اْلآخِرَةِ. Dalam Al-Qur'an, ada 19 ayat di Al-Qur'an yang menggunakan kata "yaum" dengan sifatnya: "akhir". Al-Qur'an tidak menyifati kata يوم dengan أخرة. Sebab, "yaum" adakah mudzakkar. Sifatnya ya harus mudzakkar (الأخر) pula, bukan muannas (الأخرة). Bila "yaum" disifati dengan "akhiroh", maka ini menyimpang dari teks Al-Qur'an.


Ada sebagian orang menyebut bahwa kata يَوْمِ اْلآخِرَةِ di shalawat Busro bukan susunan sifat-mausuf, melaikan mudhof-mudhof ilaih. Silakan. Tapi, bila teks ini dinisbatkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw, dengan cerita bahwa teks sholawat ini diberikan Nabi Muhammad Saw lewat mimpi, maka, harus diverifikasi sejak dari strukturnya. Lisan Nabi itu adzbul lahn (عذب اللحن), manis terucap. Ora pedes koyo aku. Hahaha.


Saya hanya percaya kalau teks sholawat Busro disusun sendiri oleh penulisnya, dan barangkali belum disetorkan ke Kanjeng Nabi Saw. Kalau disetorkan, insyaAllah dikoreksi teksnya. Itupun masih dilarang mengklaim kalau teks hasil koreksi adalah dari karangan Rasulullah Saw. Kok wani? Itu yang bikin saya heran.


Mengatasnamakan Kanjeng Rasul Saw diancam dengan hasits: فليتبوأ مقعده من النار. Beliau pernah ngendikan حياتي خير لكم ومماتي خير (Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian). Tidak ada bedanya antara beliau masih ada di dunia nyata ini dengan di alam a'la (barzakh). Demikian pemahaman ulama' Aswaja. Maka, mengatasnamakan Kanjeng Nabi Saw di zaman ini, sama dengan mengatasnamakan di masa hidup Beliau Saw.


Kesimpulan, yang syadz itu tidak indah. Blas. Bahkan bisa berbahaya bila sampai mengubah maksud wahyu atau mengatasnamakan Rasulullah Saw. Kaidah Nahwu dan Arudl serta ilmu lainnya sangat berguna untuk mendisiplinkan tahrif (penyelewengan) seperti saya contohkan di atas. Inilah yang indah dalam syariat Islam, dan indah pula dalam ilmu sastra Arab, Arudl. [badriologi.com]


Keterangan:

Tulisan ini pertama kali tayang di Facebook pribadi penulis pada 30 November 2024. 


Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha