![]() |
| Syair ketenangan hidup di rumah sendiri. |
Oleh M. Abdullah Badri
KATA Al-Qur'an (QS. Al-A'raf: 10), kita sebagai manusia harus memiliki tempat di bumi ini (وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي الْأَرْضِ). Bila tidak, maka, kehidupannya dianggap tidak sempurna. Sebab, Allah Swt menjadikan bumi sebagai tempat penghidupan yang layak (فِيهَا مَعَايِشَ). Maka, tundukkanlah dengan memilikinya.
Artinya, siapa saja yang belum memiliki tanah milik, dia sepenuhnya belum tamkin (makmur menetap) karena hidupnya masih bergantung kepada orangtua, mertua, pemilik kontrakan, pemilik kos-kosan atau bahkan pemilik waris tanah sesungguhnya.
Dengan kata lain, dia masih di bawah tangan (الْيَدُ السُّفْلَى), belum berdiri di atas tangan (الْيَدُ الْعُلْيَا), alias belum mandiri, baik secara ekonomi, sosial maupun spiritual. Kata Rasulullah Saw:
مِنْ سَعَادَةِ الْمَرْءِ: الْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ
Terjemah:
"Di antara tanda kebahagiaan seseorang ialah rumah yang luas (yang lapang dan milik sendiri), tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman". (HR. Ahmad dan Al-Hakim).
Milikilah rumah di tanah sendiri (bukan tanah warisan), maka, kamu akan produktif dan berkembang, baik hidup maupun ilmunya. Saya katakan dalam syair Bahar Rojaz:
إِنْ كَانَتِ الْأَرْضُ لَكَا وَمُلْكُكَ :: يُبْسَطُ عَيْشُكَ كَذَا عُلُوْمُكَ
"Apabila engkau memiliki tanah yang menjadi milikmu sendiri, maka kehidupanmu akan dilapangkan, begitu pula ilmumu akan berkembang".
SYARAH NADHOM
Seperti dikatakan Rasulullah Saw, tanda kebahagiaan seseorang itu, diantaranya:
- Memiliki rumah yang luas (milik sendiri),
- Memiliki tetangga yang baik, dan
- Memiliki kendaraan yang nyaman untuk bepergian.
Jika belum memiliki ketiganya, maka, sesuai kata Nabi Saw, dianggap belum beruntung. Punya rumah, tapi tetangga nya julit, rugi. Punya rumah sendiri, tetangganya baik, tapi belum memiliki kendaraan yang cocok, maka, bakal merepotkan tetangganya jika ingin bepergian. Kurang mulia (العزة).
Imam Al-Ghazali mengatakan, rumah adalah kebutuhan dasar untuk hifdzun nafsi (menjaga kehormatan diri). Jika masih ngontrak atau masing nebeng dengan orangtua/mertua, maka, tidak ada sirriyah (rahasia) yang terjaga kehormatannya.
Bila al-bait (rumah) belum memiliki sifat sirriyah (menjaga rahasia dan kehormatan), maka, tempat tinggal belum memiliki fungsi "sakan" (ketenangan). Pembicaraan sedikit bisa menjadi fitnah bila masih berkumpul hidup dengan saudara, orangtua atau mertua. Orang lain masih menganggap belum mandiri. Selamatan pun tidak diundang, karena dianggap masih bocah. Padahal, Allah Swt berfirman:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّن بُيُوتِكُمْ سَكَنًا
Terjemah:
"Allah menjadikan rumah-rumahmu sebagai tempat ketenangan (sakan)". (QS. An-Naḥl: 80).
Tempat tinggal meskipun bentuknya rumah, bila belum menjadi kepemilikan penuh, "sakan" sulit tercapai. Apalagi memiliki tetangga atau saudara dekat rumah yang ember, julit, suka menuduh, lambe turah, cangkem dugel, dan lainnya. "Sakan" justru bisa berubah menjadi haroj (gempa).
Kata Rasulullah Saw:
من أصبح منكم آمناً في سربه، معافى في جسده، عنده قوت يومه، فكأنما حيزت له الدنيا بحذافيرها
Terjemh:
"Barangsiapa di antara kamu yang bangun dalam keadaan aman di rumahnya, sehat jasmaninya, dan cukup makanan pada hari itu, maka seolah-olah telah diberikan kepadanya dunia ini seluruhnya". (HR. Tirmidzi).
Sehat, cukup makanan (aman) di rumah bisa diperoleh secara mudah bila milik sendiri, bukan milik bos kontrakan, milik saudara, atau milik orangtua/mertua. Orang yang masih bergantung kepada orangtua, mertua, atau orang lain, hatinya akan terikat rasa malu, takut, canggung, dan itu artinya kebebasannya terbatas, dan tidak izzah (mulia).
Padahal, tenang dan tidak resah adalah prasyarat datangnya rejeki. Jika sudah punya rumah sendiri namun rejeki masih seret, barangkali hati pemilik rumah masih diliputi keresahan, terikat ewuh pakewuh, tak punyya sirriyah (penjagaan rahasia dan kehormatan). Dipisuhi mertuo terus. Maka, jauhilah keresahan walaupun kamu harus hijroh sejauh mungkin, demi mencapai ketenangan batin.
Kata para sufi, rumah adalah cermin hati. Jika hati penghuni rumah tenang, rejeki datang mudah dengan tenang tanpa keroncalan. Demikian pula, rumah adalah maqom tamkin (keteguhan hati dan kedewasaan ruhani) yang menunjukkan kedalaman umur dan ilmu.
Rumah yang tenang, yang bisa menjadi al-bait sirriyah dan jauh dari tetangga yang julit, penghuni akan mudah menerapkan adab menghormati tamu, orang lain yang butuh tempat, bahkan nyaman bila mengundang selametan, pengajian, ta'lim atau menggelar ngaji sendiri. Jadi, rumah milik sendiri bisa menjadi sarana sedekah dan silaturrahim.
Kata Imam Ghazali dan Ibnu Muflih, berbakti kepada orang tua tidak berarti selalu tinggal bersama mereka, jika itu menimbulkan fitnah, ketidaknyamanan, atau pertengkaran keluarga.
Bahkan Imam Ahmad berkata:
"Tidak mengapa seorang suami membawa istrinya ke rumah sendiri jika itu lebih menenangkan hati mereka berdua".
Artinya, hidup mandiri di tanah sendiri senyatanya lebih mendukung harmoni rumah tangga dan menjaga hubungan baik dengan keluarga besar tanpa konflik ruang. Tinggal jauh dari keluarga gak bakal mambu tahine. Memiliki rumah di tanah sendiri, juga bisa memberikan berkah kepada keturunan: bisa diwariskan.
Di sini, rumah milik sendiri bisa menjadi pusat produktif, kreativitas mengundang rejeki dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta tenang beribadah. Imam Al-Ghazali berkata:
لا يُطْلَبُ العِلمُ على بَطنٍ خالٍ، ولا في حالِ الاضطرابِ، بل في سكونِ النَّفسِ واستقرارِ الحال
Terjemah:
"Ilmu tidak bisa dicari dalam kondisi perut kosong dam tidak pula dalam keadaan kacau/resah/pusing, tapi dalam keadaan tenteram dan stabil".
Ibnul Qayyim juga mengatakan:
متى استقرت النفسُ استقامت الفكرة، وإذا اضطربتِ المعيشةُ اضطربَ القلبُ وتشتت العلم
Terjemah:
"Bila jiwa tenteram, pikiran pun tenang, tetapi bila hidup tak menentu, hati gelisah, dan ilmu pun berserakan".
Karena itulah, para ulama' selalu memiliki cara sendiri untuk mencari tempat tertenang mengaji, menulis dan menggelar ta'lim. Imam Malik misalnya, beliau menjadikan masjid Nabawi sebagai tempat untuk menulis. Imam Syafi'i juga demikian, memilih Mesir sebagai bumi pijaknya mengembangkan ilmu.
Begitu pula Rasulullah Saw mengajak hijrah seluruh sahabatnya ke Madinah sebagai tempat tinggal, karena bagi Beliau Saw, stabilitas material adalah prasyarat berdirinya masyarakat luas ilmu dan penuh iman.
Dengan memiliki rumah sendiri, insyaAllah akan diberikan:
- Kemakmuran (تمكين) rejeki.
- Ketenangan (السكن) jiwa.
- Kemandirian (اليد العليا) ekonomi.
- Kemuliaan (العزة) sosial.
- Berkah turun temurun (البركة) bisa diwariskan.
Maka, tundukkanlah bumi dengan membelinya, memilikinya dan bangunlah rumah, lillah. Kata Allah Swt:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ
Terjemah:
"Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu dalam keadaan mudah dimanfaatkan. Maka, jelajahilah segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya". (QS. Al-Mulk: 15).
Jika belum memiliki rumah di tanah sendiri, maka, belum dianggap sebagai khalifah Allah Swt, yang menundukkan bumi, untuk mempermudah datangnya rejeki.
Meski tingal jauh dari ibu ataupun ayah, carilah calon lokasi tanah untuk rumahmu, agar tenang hidup bersama keluargamu. Tanah warisan belum tentu melahirkan ketenangan jika saudaramu atau tetanggamu yang mengetahui masa kecilmu, menjulitimu. [badriologi.com]
Keterangan:
Nadhom di atas adalah bagian dari kumpulan Nadhom Sururun Nasho'ih, yang suatu kali akan saya kumpulan jadi kitab nadhom bersyarah bahasa Indonesia.





