Menjawab Islam Nusantara dan Tahlilan yang Dituduh Warisan Hindu -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Menjawab Islam Nusantara dan Tahlilan yang Dituduh Warisan Hindu

M Abdullah Badri
Kamis, 30 Mei 2019
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
islam nusantara adalah agama sejati
Dalil Islam Nusantara bukan peneguhan ritual agama Hindu ada dalam terma bahwa Islam itu sempurna sebagai dalil, bukan sempurna sebagai apa adanya an sich seperti dipraktikkan Nabi Muhammad Saw.

Oleh M Abdullah Badri

ADA sebuah pertanyaan yang menggugat Islam Nusantara karena ia dianggap sebagai terma yang justru akan menyuburkan tradisi agama Hindu seperti tahlilan yang diselenggarakan dalam waktu-waktu tertentu (3,7,40, 100 dan 1000 hari).

Jawaban: 
Bila tahlilan dianggap sebagai bagian Islam Nusantara, ya memang betul adanya begitu. Alasannya, Islam Nusantara adalah peneguhan identitas saja, bahwa corak dan kultur Islam Nusantara banyak yang berbeda dari beberapa wilayah negara di luar Indonesia, meski Nusantara sebetulnya bukan hanya merujuk geografi wilayah Indonesia saja.

Soal tuduhan bahwa tahlilan berasal dari tradisi Agama Hindu, saya sendiri belum menemukan rujukan shahihnya. (Baca: Siti Jenar Pembuat Urutan Tahlilan). Pada tahun 2008, saat saya kuliah di IAIN Walisongo, saya berkesempatan bertemu dengan kiai Hindu di kampus saat ada pameran kitab suci lintas agama.

Saya sempat bertanya kepada tokoh agama Hindu tersebut tentang tradisi tujuh hari pasca kematian. Apakah benar ada dalam catatan atau tafsir kitab mereka. Jawabannya nihil. Mereka justru menanyakan balik, darimana asal pendapat bahwa di Hindu ada tradisi mitungdina, matangpuluh dan nyatus hingga hingga nyewu.

Baca: Perpaduan PKS, HTI, KAMMI: Tawassul Islam Nusantara yang Kaffah

Di kitab suci yang dia bacakan kepada saya waktu itu, tokoh agama Hindu yang saya tanya itu yakin betul kalau agamanya tidak mengenal ritual mitungdina dst. Justru saya temukan jawaban itu dari Agus Sunyoto dalam beberapa kali seminar yang saya ikuti.

Menurut penelitian Agus Sunyoto, munculnya tradisi tahlilan, selain ia sebutkan disebarluaskan pertama oleh Siti Jenar, tradisi itu berasal dari tanah Persia, tanah nenek moyang para Walisongo yang membawa tradisi tersebut ke Jawa dan Nusantara secara lebih luas.

Bahkan ada beberapa kalangan yang berpendapat kalau tahlilan itu diciptakan pertama oleh pengarang Sayyid Abdullah Alawi Al-Haddad, pengarang Ratib Al-Haddad yang lahir 20 Juli 1634 di Tarim, Yaman, (Abad 17).

Alasan yang dikumukakan kelompok ini tiada lain karena urutan dan wirid dalam tahlilan di Indonesia mirip sekali dengan yang ditulis Sayyid Abdullah dalam karya masyhurnya tersebut. Mana yang benar?

Semuanya benar bila kita sepakat bahwa kesempurnaan Islam itu, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Artinya:
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu" (QS. Al-Ma'idah: 3),

adalah sempurna sebagai dalil atau sebagai contoh. Bukan sebagai "apa adanya" yang telah dipraktikkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Nabi telah memberikan contoh agar kita selalu berdzikir tahlil (لاإله إلا ألله), tahmid, dan lain sebagainya agar kita bisa memperbaharui iman (جددوإيمانكم بقول لاإله إلا ألله), tapi toh begitu, Nabi Muhammad Saw. tidak membatasi kapan kita harus mengucapkan tahlil dan sebagainya kapan, dimana dan sampai berapa kali.

Baca: Mengapa Lirik Lagu Syubbanul Wathon Diterjemahkan “Afganistan Bilady”?

Nah, dalam pentingnya dzikir tahlilan inilah, umat Islam di Nusantara menentukan cara memperbaharui iman mereka dalam jamaah majelis dzikir yang disebut dengan tahlilan. Jadi, tahlilan itu dalilnya adalah perintah Nabi Muhammad Saw. agar kita selalu memperbaharui iman minimal saat tahlilan, selain tentunya saat shalat lima waktu juga.

Tidak ada warisan Hindu dalam tradisi tahlilan yang diisi dengan kalimah thoyyibah La ilaha illaAllah dan seterusnya. [badriologi.com]

Keterangan:
Esai ini adalah catatan saya dalam Ngaji Posonan Islam Nusantara bersama Lembaga Kajian Pemikiran dan Advokasi Marka Bangsa di Balaidesa Gemulung, Pecangaan, Jepara, Ahad (25 Mei 2019) malam. Catatan lain, silakan baca dalam rubrik Islam Nusantara, yang saya tulis berseri.   
Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha