Cara agar bisa berkurban setiap tahun. Foto: Tribun Kaltim. |
Oleh M Abdullah Badri
MEMBERI itu berdampak, dan punya daya magis sosiopolitik. Menerima pemberian juga sangat berisiko, baik positif maupun negatif. Rasulullah Saw. sudah mengulas tradisi memberi dan menerima, berikut pengaruhnya, dalam banyak hadits.
Sejarah kurban juga demikian. Sebagai syari', Kanjeng Rasulullah Saw. menghimbau umatnya berkurban di hari Idul Adlha karena dampaknya sangat positif terhadap mereka yang sangat membutuhkan. Dampak memberi itu sangat dahsyat.
Hanya dengan sekantong plastik daging saja, kelompok sosial yang tidak sepakat atas hadirnya penganut ideologi pemantik tumbuhnya radikalisme dan terorisme, bisa setuju. Tokoh kritis tingkat desa pun potensial luluh.
Baca: Cost of Delivery (COD) dan Bahaya Tanpa Akad Khiyar
"Podho islam-e wae kok. Mereka juga baik. Tiap hari raya kurban kasi daging". Kebaikan sangat mudah diukur hanya dalam praktik pemberian, apalagi dibungkus kurban atas nama sedekah zakat sosial (istilah fiqih awur-awuran).
Atas dasar itulah, usulan beberapa sahabat agar tahun ini GP. Ansor NU di Ngabul mengadakan penyembelihan kurban, bukanlah ide yang muncul tanpa dasar dakwah sosiologis-ideologis. Mereka belajar dari tahun-tahun lalu, tentang "podho islam-e", yang dijadikan dalil "cangkeman".
Lalu, apa yang harus dilakukan?
Ansor Ngabul itu kadernya banyak. Tidak semuanya tekena dampak Covid-19. Artinya, sebagian dari mereka masih ada yang menyimpan tabungan dan sudah biasa berkurban di tiap Idul Adlha. Mereka inilah yang harus diajak berdakwah sosial melalui iuran kurban yang saya sebut sebagai kurban "Kloter Kurban Kebo Ijo".
Apa itu?
Kloter adalah kelompok. Seperti diusulkan oleh sahabat Ansor Ngabul lain, sebaiknya kloter donatur kurban terdiri atas 21 orang. Masing-masing mereka mengeluarkan uang satu juta. Berarti, total donasi yang terkumpul dari satu kloter adalah Rp. 21 juta.
(Sebagian besar) total dana itulah yang kelak dibelikan hewan kerbau (Jamus), yang dalam tradisi fiqih hukumnya disamakan dengan hewan sapi, dimana tiap satu ekornya bisa digunakan tujuh orang untuk berkurban. Jamus tidak ditemukan di Arab.
Mengapa kerbau, bukan sapi? Alasan yang diajukan ketua Ansor Ngabul, dagingnya lebih banyak, disenangi oleh warga "darangtinggi" dan "kolesterol", serta jarang ditemukan kelompok iuran kurban Jamus di Ngabul. Harganya pun relatif stabil. Dan, seiring Covid-19, harga Jamus diketahui menurun tahun ini.
Setelah mendapatkan satu ekor Jamus, pada hari H nanti, tujuh nama dari 21 nama-nama donatur kloter diundi untuk dijadikan sebagai mudlahhi (yang berkurban). Artinya, hanya iuran 1 juta, namanya sudah terdaftar di akhirat sebagai calon pelintas Sirathal Mustaqim dengan kerbau, kelak, insyaAllah.
Tahun depan, ketujuh nama itu juga harus iuran lagi. Jangan mentang-mentang sudah kurban lalu "mengorbankan dirinya". Ingat, masih ada 14 nama donatur yang tahun ini belum terdaftar sebagai calon pelintas "wot sirot", dan butuh pertolongan (ma'unah) dari lainnya, tahun depan.
Artinya, selama 3 tahun (pertahun kan baru 7 orang), GP. Ansor Ngabul bakal terjamin punya hewan kurban yang siap dibagi ke ratusan warga. Inilah alasan mengapa harus ada 21 nama untuk kloter donasi kurban Jamus. Akad fiqihnya adalah saling bantu (i'anah) dalam biaya pembelian hewan secara kelompok. Pahalanya terhitung ada 4 macam, yakni:
- Membantu sahabat lain berkurban,
- Dia mendapatkan jatah kurban "wot sirot",
- Nahi mungkar penyebaran ideologi Islam yak nah beh,
- Membantu Ansor punya aset.
Pahala ketiga, saya yakin pembaca paham. (baca paragraf ke-3 dan ke-4). Tapi, jenis pahala keempat ini yang perlu saya ulas. Piye sih? (Baca lanjut).
Jadi begini. Uang 21 juta dibelikan Jamus kan tentunya masih sisa. Katakanlah sisanya 3 juta. Yang sisa itu jangan masuk langsung kas Ansor. Biarkanlah jadi amal jariyah donatur kloter kurban. Langsung belikan aset saja.
Beberapa sahabat Ansor sudah memprediksi kelebihan dananya untuk membeli aset dari sisa donasi kloter. Pakainya jangan akad waqaf. Repot cara mengelolanya. Akad hadiah jadi pilihan. Biar enak tasharrufnya.
Baca: Bantuan Langsung Tunai Ansor Bukan Bersumber dari ADD, Ndoro!
Karena itulah, sejak awal paragraf, saya menyebut akad awal kloter bukanlah arisan kurban murni, tapi donasi kloter atau tabungan kloter. Pilihan akad ini semata-mata agar duit anggota kloter tidak jatuh pada kewajiban harus dibelanjakan total untuk hewan kurban, secara fiqih.
Maka, sahabat Ansor yang menerima duit bukanlah wakil mudlahhi murni, yang dalam fiqih tidak boleh membelanjakan duit iuran kurban untuk selain hewan kurban. Lalu sebagai apa? Ya sebagai penerima donasi yang berpahala 4 macam tadi.
Boleh tidak membuat kloter sendiri?
Malah bagus. Tapi hendaknya tetap 21 orang. Artinya, jika tahun depan ada satu kloter lagi berisi 21 anggota Ansor Ngabul, maka, pada 2021, akan ada dua Jamus yang disembelih, dan minimal 2 aset dibeli oleh GP. Ansor Ngabul. Demikian seterusnya sampai batas kloter donasi yang tak bisa dibatasi.
Dan saya pikir, untuk membentuk kloter kedua (setelah kloter pertama tahun 2020 ini) sangatlah mudah. Ansor Ngabul punya tradisi (yang saya berdoa semoga berlangsung abadal abad) bernama Morongpuluhan dan Ngaji Rijalul Ansor. Pertemuan rutinan ini bisa dimanfaatkan oleh kloter berikutnya untuk menabung selama setahun (10 bulan rutin cukup).
Bila dana yang dibutuhkan perorang adalah 1 juta, maka, selama sebulan dia bisa menyisihkan Rp. 100.000 hingga 10 kali untuk mendapatkan angka Rp. 1 juta, sebagai angka maksimal batas donasi kloter. Kloter kedua, ketiga, dan keempat (misalnya), akan menjamin Ansor memiliki program sosial berupa kurban beberapa ekor jamus tiap hari raya.
Jika ada tiga kloter saja yang terbentuk, bukan tidak mungkin tiap dukuh di Ngabul, setiap Hari Raya kurban, akan mendapatkan jatah daging Jamus berkemasan plastik Ansor.
Karena diberikan atas nama Ansor, saya menyebutkan sebagai "Kebo Ijo". Makin banyak kloter donasi di GP. Ansor (dengan cara menabung di Morongpuluhan), maka, makin banyak:
- Umat Kanjeng Rosululullah dari Ansor Ngabul yang insyaAllah bisa selamat melewati "wot sirot" bi wasilah Mbah Hasyim, kelak,
- Yang menerima daging Jamus ijo se-Desa Ngabul,
- Yang melihat Ansor bukan hanya ngaji dan jaga pengajian,
- Aset Ansor yang dimiliki,
- Warga Ngabul yang ber-NU daripada yang ber-Islam saja.
Sengaja saya menulis esai ini karena sudah masuk Syawwal. Bila Syawwal habis, harga Jamus sudah tinggi. Belasan sahabat Ansor sudah ada ikrar via saya pribadi siap Rp. 1 juta untuk kloter pertama ini. [badriologi.com]