Berkurban Untuk Orang Meninggal Tanpa Wasiat -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Berkurban Untuk Orang Meninggal Tanpa Wasiat

M Abdullah Badri
Jumat, 31 Juli 2020
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
kurban kepada orang yang sudah mati
Proses pemotongan daging kurban (1 kerbau dan 3 kambing) di Mushalla Al-Firdaus, Ngabul, Tahunan, Jepara, Jumat (31/07/2020) pagi. Foto: badriologi.com.

Oleh M Abdullah Badri

PADA Jumat pagi, 31 Juli 2020, saat panitia kurban dari Mushalla Al-Firdaus Ngabul hendak menyembelih hewan kurban (1 kerbau dan 3 kambing) ada yang menyebut kalau kurbannya diperuntukkan kepada suami (1 orang) dan orangtua (1 orang) yang sudah meninggal.

"Apakah dapat wasiat untuk berkurban dari orang yang sudah wafat itu?" Saya tanya. Jawabannya tidak. Seketika, nama yang wafat diganti ke yang masih hidup.

Hari itu, Pak Lek yang menjadi wakil penyembelih untuk 10 peserta kurban di mushalla tinggalan Mbah Buyut tersebut. Penjelasan tentang wasiat kurban kemudian saya urai secara singkat, sesuai pengetahuan yang ada di kitab-kitab fiqih Madzhab Syafi'i.

Syaikhul Islam Abi Yahya Zakaria Al-Anshari menulis seperti ini, di kitabnya, Fathul Wahab:

ولا تضحية لأحد عن أخر بغير إذنه ولو كان ميتا كسائر العبادات بخلاف ما إذا أذن له كا لزكاة

Artinya:
"Kurban tidak terjadi bagi seseorang yang mengatasnamakan kurbannya untuk orang lain, tanpa mendapatkan ijin, meski sudah meninggal, sebagaimana ibadah-ibadah lain. Ketentuan ini menjadi beda bila ia sudah mendapatkan ijin". (Sumber: Fathul Wahab Bi Syarhi Minhajit Thullab, Jilid 2, hlm: 189).

Artinya, kurban menjadi tidak relevan bila diatasnamakan kepada orang yang sudah wafat dan tidak pernah menyatakan wasiat, misalnya, "kalau aku mati, aku kurbankan yah, nak". Tanpa ada pendahuluan seperti itu semasa hidup, orang yang meninggal tidak di posisi sebagai "yang wajib dikurbankan".

Tanpa meminta ijin, kurban menjadi sah dalam kasus kurban nadzar. Pasalnya, kurban wajib karena nadzar, dalam madzhab Imam Syafi'i, tidak diperlukan niat lagi. Misalnya, Anda punya teman yang tahun lalu bernadzar akan kurban. Tanpa seijin dia, diam-diam Anda membelikan hewan kurban untuk Anda sembelih atas nama teman Anda, yang sama sekali tidak punya hubungan darah. Anda terlalu baik. Dan boleh, sah.

Hal itu berbeda dengan kasus seorang wali yang membelikan hewan kurban sebagai udlhiyah (ibadah kurban) kepada yang dia asuh. Bila ia tidak meminta ijin untuk berkurban atas namanya, kurban tetap sah. Menjadi tidak sah jika kurban tanpa ijin atas nama anak asuhnya itu diambil dari hartanya.

Contoh: Ada yatim anak orang kaya. Selama belum baligh, harta warisan orangtuanya dipegang oleh bapak asuhnya, Anda misalnya. Tapi, sebelum dia baligh ternyata Anda ingin mengambil harta anak yatim itu untuk membeli hewan kurban atas namanya. Nah, bila Anda tidak ijin, kurban itu tidak sah.

وتضحية الولي من ماله عن محاجيره فيصح كما أفهمه تقييدهم المنع بمالهم

Artinya:
"Hewan kurban wali yang dibelikan dari harta si wali untuk anak-anak asuhnya, maka hal itu sah. Harus paham bahwa tidak dibolehkannya hal itu (berkurban) bila hewan kurban diambil dari harta anak-anak asuhnya itu". (Baca: Fathul Wahab, hlm: 190).

Begitu pula bila ada seorang imam (pemimpin atau pejabat) yang mengambil uang baitul mal (ini istilah fiqih) untuk dibelikan kurban atas nama umat Islam, hukumnya tetap sah walau tanpa harus ijin, misalnya, dengan pengumuman sumber dana, seperti diungkapkan oleh Al-Mawardi. (Baca: Fathul Wahab Jilid 2, ibid, hlm: 190 | Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar fil Fiqhis Syafi'i, Imam Taqiyyuddin Abi Bakar bin Muhammad Al-Hushni Al-Husaini Ad-Dimisqi, Cetakan Dar Basya'ir, 1999, hlm:  627).

Baca: Hukum Menjual Kulit Hewan Kurban Menurut Madzhab Syafi'i dan Lainnya

Dalam Hasyiyata Qulyubi wa Umairah, Syaikh Syihabuddin Umairah (w. 957), menyinggung soal isyarah Nabi secara tidak langsung tentang fidyah orang yang meninggal, saat Nabi Saw. menyembelih 100 unta.

أقول فيه إشارة خفية إلى عدد أعوام حياته صلى الله عليه وسلم وفديته بنفسي وأبي وأمي وولدي والناس أجمعين

Artinya:
"Saya berpendapat: dalam hal ini ada isyarah samar tentang tahun-tahun Nabi Saw. dan fidyahnya, kepada diriku (Nabi), ayahku, ibuku, anakku dan manusia seluruhnya". (Baca: Hasyiyata Qulyubi wa Umairah Juz 4, Maktabah Musthafa Al-Halabi, hlm: 250).

Namun, ia tidak menjelaskan lebih lanjut tentang isyarat fidyah Nabi Saw. saat melaksanakan kurban dengan ratusan hewan unta tersebut. Apakah boleh mengatasnamakan kurban untuk orang yang meninggal, seperti orangtua Nabi, Syaikh Umairah tidak menjelaskan lebih detail.

Semua pendapat di atas adalah kutipan dari kitab-kitab madzhab Syafi'iyah. Selain madzhab Syafi'i, berkurban untuk mayit tanpa wasiat diperbolehkan.

أما إذا لم يوص بها فأراد الوارث أو غيره أن يضحي عنه من مال نفسه فذهب الحنفية والمالكية والحنابلة إلى جواز التضحية عنه 

Artinya:
"Bila mayit tidak berwasiat untuk tadlhiyah (berkurban) dan ahli waris atau orang lain ingin mengurbankan atas nama mayit, dari hartanya sendiri, maka menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah, boleh". (Maushu'ah Fiqhiyyah Kuwait Jilid 5, hlm: 106).

Meski menurut ulama' madzhab Malik membolehkan kurban atas nama mayit, hukumnya makruh. Alasan ulama-ulama' madzhab selain Madzhab Syafi'iyah membolehkan kurban atas nama mayit karena unsur kematian tidaklah mencegah berbuat taqarrub kepada Allah, seperti halnya sedekah dan haji.

Kasus berkurban atas nama orang yang meninggal puluhan tahun lalu ini selalu dibawa ke pasal wasiat oleh banyak pengarang kitab fiqih madzhab Syafi'iyyah. Imam Syafi'i sendiri (bukan para ulama Syafi'iyyah) sebetulnya menganggap sah berkurban untuk orang yang meninggal atau mayit (dengan keterangan tambahan). Seperti ditulis dalam Kitab Al-Ma'anil Badi'ah, berikut ini:

عند الشافعى وبعض العلماء تصح الأضحية عن الميت. وعند بعضهم لا تصح عنه. وعند إبن المبارك الأحب أن يتصدق عنه ولا يضحي. فإن ضحى عنه فلا يؤكل منها شيئ ويتصدق بها كلها

Artinya:
"Menurut As-Syafi'i dan sebagian ulama', udlhiyah untuk mayit hukumnya sah. Menurut sebagian lainnya, tidak sah. Menurut Ibnul Mubarok, yang lebih baik untuk mayit adalah bersedekah, bukan berkurban. Namun, jika berkurban, maka tidak boleh memakan sebagianpun dari hewan kurban itu. Harus disedekahkan semuanya". (Baca: Al-Ma'anil Badi'ah Jilid 1, hlm: 406-407).

Keterangan Imam Syafi'i soal sahnya kurban ke mayit inilah yang rinciannya ada di kitab-kitab mabshutah (babon) dari para ulama yang bermadzhab Syafi'i. Rincian itu adalah, bila mayit berwasiat, maka hukum berkurban atas namanya jadi wajib.

ولا يجوز عن الميت على الأصح. إلا ان يوصى بها. نعم تجوز النيابة عنه فيما عينه بنذر قبل موته

Artinya:
"(Kurban) tidak boleh diatasnamakan kepada mayit, menurut qaul ashoh. Kecuali ada wasiat. Iya, boleh berkurban mengatasnamakan mayit tapi masuk sebagai nadzar -sebelum dia meninggal". (Baca: Kifayatul Akhyar, hlm: 627).

Hawasyi Tuhfatul Muhtaj memberikan keterangan lebih jauh, begini:

وقيل تصح التضحية عن الميت وإن لم يوص بها لأنه ضرب من الصدقة وهي تصح عن الميت وتنفعه وتقدم فى الوصايا

Artinya:
"Katanya (qila), berkurban sah untuk mayit walau tanpa wasiat. Pasalnya, itu bagian dari sedekah dan bermanfaat untuk si mayit. Pembahasan ini sudah ada dalam Bab Washaya (wasiat)". (Hawasyi Tuhfatul Muhtaj, hlm: 368).

Lihatlah, bolehnya berkurban untuk mayit disebut sebagai "qila" saja, katanya saja, bila tanpa ada wasiat. Ini berdasarkan kepada riwayat salah satu guru Imam Bukhari bernama Muhammad bin Ishaq Siraj An-Naisaburi, dimana ia, diceritakan pernah berkurban atas nama Nabi Saw. hingga 10 ribu kali karena beliau disebut-sebut pernah khatam Al-Qur'an di hadapan Rasulullah Saw. hingga 10 ribu kali. Cerita ini juga termaktub dalam Kitab Al-Mughni.

Riwayat lain juga ada dalam Sunan Abi Dawud, Baihaqi dan Al-Hakim, yang ditulis dalam Tuhfatul Muhtaj begini:

أن علي ابن طالب كان يضحى بكبشين عن نفسه وكبشين عن النبي صل الله عليه وسلم وقال أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أمرني أن أضحي عنه فأنا أضحي عنه أبدا

Artinya:
"Ali bin Abi Thalib pernah berkurban dua domba untuknya dan dua domba untuk Nabi Saw. Ali berkata: Nabi pernah memerintahkanku berkurban untuknya, maka aku berkurban atas nama Nabi, selamanya".

Namun, cerita di atas dianggap lemah riwayatnya. Kalaupun dianggap benar, perkataan Sayyidina Ali masuk dalam kategori wasiat atau nadzar.

Ibnu Mubarak kemudian memberi catatan sahnya kurban atas nama mayit dengan dua hal, 1). semuanya harus disedekahkan, 2). lebih baik sedekah sunnah. Dalam pandangan ulama Syafi'iyyah, pendapat Ibnu Mubarak ini disamakan dengan kurban wajib.

Imam Qaffal memberikan catatan soal kurban atas nama mayit:

وقال القفال: ومتى جوزنا التضحية عن الميت لا يجوز الأكل منها لأحد بل يتصدق بجميعها لأن الأضحية وقعت عنه فتوقف جواز الأكل على إذنه وقد تعذر فوجب التصدق بها عنه

Artinya:
"Imam Qaffal berkata: ketika kami membolehkan kurban untuk mayit, seorangpun tidak boleh memakan dagingnya. Harus disedekahkan semuanya. Sebab, kurban itu untuk mayit. Sementara untuk memakannya, bergantung atas ijin dia. Dan dia sudah udzur (tidak ada). Maka, wajib menyedekahkan semuanya atas nama mayit". (Nihayatul Muhtaj Jilid 8, Syamsuddin Muhammad bin Abil Abbas Ahmad bin Hamzah, Cetakan Dar Kutub Ilmiyah Lebanon, 2002, hlm: 144)

Solusinya, bila Anda ingin berkurban atas nama mayit, sebaiknya diganti atas nama Anda saja, yang masih hidup. Lebih aman dari khilaf dan silang pendapat soal kurban. Berkurban atas nama mayit, yang muttafaq alaih hanya dalam kasus sudah ada wasiat. Kalau Anda mengikuti ulama' yang membolehkan, dagingnya pun harus dibagikan semuanya, tanpa terkecuali.

Lalu, apa perbedaan sedekah dengan kurban? Baca: Perbedaan Sedekah Biasa dan Sedekah Kurban. [badriologi.com]
  
Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha