Ilsutrasi pembagian daging kurban. Foto: badriologi.com. |
Oleh M Abdullah Badri
TERJADI di banyak tempat di Indonesia, dimana panitia kurban di masjid atau mushalla biasanya diberi hidangan berupa daging yang diambil dari sebagian daging yang hendak dibagi. Bagaimana sih hukumnya?
Dalam banyak kitab fiqih, daging kurban harus ada yang diberikan kepada yang berhak, harus fakir miskin dan bukan orang kaya. Hanya satu orang fakir saja sudah cukup. Asal yang diberikan itu adalah daging, bukan lemak atau kulitnya. Sekali lagi, dagingnya.
Jika proses penyembelihan hingga pembagian hewan kurban diserahkan (tafwidl) kepada panitia, panitia wajib membagikannya kepada mereka yang berhak. Atas nama panitia, mereka tidak berhak menerima apapun dari daging kurban, dimana mereka hanya diberi tugas membagikannya saja, bukan memakannya. Panitia boleh menerima daging kurban atas nama yang berhak (mustahiq) atau atas nama orang kaya (yang wajib mengeluarkan zakat), sebagai hadiah (yang tidak boleh dijual).
Baca: Apa Benar Kurban 1 Onta Untuk 10 Orang?
Bila panitia itu bukan orang kaya (yang berhak menerima zakat), maka daging yang diterimanya setelah dia bertugas sebagai panitia adalah milik penuh dirinya sendiri, dan bahkan keluarganya. Karena sudah menjadi miliknya penuh (tamlik), daging yang dia terima boleh dijual kembali olehnya, dimasak sendiri bersama keluarga, atau bahkan diberikan kepada orang lain. Boleh semuanya.
Masalahnya, saat daging kurban belum dibagikan seluruhnya, panitia kadang sudah mengambil beberapa kilo daging, jeroan, beserta balungan (bahkan hati hewan kurban), untuk dimasak bersama, dimakan bersama jadi sop daging, sebagai mayoran -usai pembagian kurban selesai semuanya, nantinya. Padahal, panitia, atas nama panitia, tidak berhak mengambil daging. Terus, yang dimakan itu daging siapa?
Bila daging yang dimasak itu tidak jelas kepemilikannya (atas yang berhak menerima), maka, haram dimakan. Bagaimana solusinya?
- Panggil salah satu unsur panitia di lapangan, beri dia jatah, misalnya 5 kilogram, atas namanya (sebagai fakir yang berhak menerima bagian). Lalu, beri dia kesempatan mengikhlashkan (merelakan) jatah yang telah dia terima itu untuk dimasak. Itu akan jadi amal dia sebagai hidangan atas sesamanya. Jadi pahala dia. Bila daging yang dimasak itu ternyata lebih (matang maupun mentah), dia boleh membawa pulang, atau bahkan menjualnya, atas nama jatah pribadinya.
- Ambil jatah mudhahhi (pengurban) untuk dimasak, dengan meminta ijin kepadanya terlebih dahulu. Bila pengurban mendapatkan jatah awal daging 4 kilogram dari panitia, mintalah ke dia seberat 2 kilogram daging (misalnya), untuk dimasak panitia. Pahalanya adalah sebagai hidangan (dliyafah) dari pengurban untuk mereka yang telah membantu lancarnya acara kurban, atas nama sesama muslim yang berhak. Karena status kepemilikan daging itu jelas, pemberian daging si pengurban ke relawan atas nama panitia pun boleh.
Praktisnya, bila panitia akan ada rencana masak-masak setelah acara pembagian, lebih baik jatah orang-orang yang ikut mlandang (relawan) di kepanitiaan, dibagi lebih awal oleh ketua panitia meski hanya sebagian dulu saja. Lima orang dulu misalnya. Biar jelas kepemilikannya.
Di mushalla Al-Firdaus (Ngabul, Tahunan, Jepara), kebetulan yang dapat bagian jatah masak adalah penyembelih kurban (nadzir mushalla). Artinya, penyembelih dapat daging jatah haknya oleh panitia. Bila dimasak, lalu dimakan bareng-bareng oleh sukarelawan, hal itu adalah amal baik penyembelih. Dan sangat boleh.
Biar ikut mendapatkan berkah, mintalah sebagian jatah jeroan hati (kabid) ke salah satu pengurban (jika dia dijatah hati), untuk dicampur ke daging yang dimasak jadi sop daging tersebut. Sunnah Memakan Hati Hewan Kurban Bagi Yang Berkurban. [badriologi.com]