Marsam bin Syarih, Sosok yang Disebut Mendetha di Ngabul -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Marsam bin Syarih, Sosok yang Disebut Mendetha di Ngabul

Selasa, 27 Oktober 2020
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
makam waliyullah di ngabul tahunan jepara
Makam Mbah Marsam bin Syarih di Ngabul. Foto: badriologi.com.

Oleh M Abdullah Badri

BILA Anda melintas di Jl. Hugeng Ngabul, Tahunan, Jepara, maka, gang masuk ke Timur -tepat di depan Pom Bensin Ngabul itu-, disebut sebagai Gang Marsam. Dinamai demikian karena banyaknya keluarga Marsam bin Syarih yang tinggal di lingkungan gang itu, -berikut sanak saudara; keponakan, ipar, misanan, dll.

Dulu, tanah di kanan dan kiri gang jalan (hingga lurus ratusan meter ke Selatan dan Utara) dulu katanya adalah milik Simbah Marsam bin Syarih. Kini, anak cucunya yang mewarisi, dan tinggal berdekatan, meski sebagian tanahnya ada yang kemudian dibeli oleh pabrik, pendatang, dll. 

Tidak banyak yang mengetahui sejarah Mbah Marsam. Tahun wafatnya pun, hingga tulisan ini saya publikasi, belum diketahui. Saya tanya ke alm. Mbah Piah (Hj. Sofiyyah), putri Mbah Marsam dari istri Mbah Saminah (alias Nyi Mimi), tentang lokasi makamnya, tidak bisa menjawab. 

Siapa sebetulnya Mbah Marsam?
Keterangan yang saya dapatkan dari Masrifan (69) bin Karto (suami Mbah Piah) pada Jumat (02/10/2020), Marsam adalah nama lain dari Sandam. Bila dijelaskan dengan Bahasa Arab, Marsam (مرسم) artinya adalah "ruang menulis" (redaksi). Dan Sandam (صندم) artinya "memperbaiki". 

Masrifan mengaku pernah bertemu Mbah Marsam di masa kecilnya. Bahkan lehernya pernah dikalung tongkat karena jail mengganggu Mbah Marsam yang sedang wiridan. Ia menyebut Mbah Marsam sebagai sosok menditha yang sering disowani banyak orang untuk meminta tolong. 

Cerita yang saya ingat dari Bapak saat ngaji, Mbah Marsam itu orangnya sakti. Kisah yang beredar di kalangan keluarga, Mbah Marsam pernah melempar musuh seringan melempar batu segenggaman. Musuh yang berada di bibir sungai, bisa mencelat hingga ke bibir sungai di seberang, terbang, seperti batu. Cerita tutur ini semakin menguatkan sebutan Mbah Marsam sebagai wong tuwo yang mendhita

Saat tirakat dan wiridan, Mbah Marsam disebut Masrifan sering telanjang dada tapi tetap sarungan (terus kepiye bentuke yaw. haha). Shalatnya kenceng, tapi saat ada acara tayuban, Mbah Marsam tidak sungkan hadir. Bahkan, kata Masrifan, Mbah Marsam kadang tidak malu ikut menikmatinya, njoget. Di rumah, tetap banyak yang minta berkah, doa, banyu dan ijazah. 


Oleh Masrifan, saya ditunjukkan lokasi makamnya. Tepatnya di Ngancar, Ngabul, sebelah Utara gumuk yang dulu tumbuh Pohon Besar (sebelum tumbang). Masrifan tahu karena anaknya, Ahmad Haizun Ni'am dimakamkan di sebelah Barat makam Mbah Marsam yang sekarang tidak terawat. 

Ni'am meninggal di usia 2 tahun karena penyakit lepra. Dimakamkan di sebelah Mbah Marsam atas petunjuk ayahnya, Mbah Karto, yang juga menantu Mbah Marsam. 

Istri Mbah Marsam bernama Sarminah (populer disebut Mbah Mimi dan sering disosokkan sebagai wanita berjarik hitam dengan baju kuning) juga belum berhasil saya lacak. Padahal, saudara Mbah Mimi sangat banyak keturunannya. Keturunan mereka ada yang pernah jadi petinggi Ngabul, Modin, kiai, dan lainnya. (Saya ada beberapa data saja). 

Mbah Marsam sendiri adalah buyut saya dari jalur lelaki semua. Urutannya demikian: 

  1. Abdullah, bin 
  2. Muhammad Badri, bin 
  3. Abdul Hadi, bin 
  4. Marsam, bin 
  5. Syarih.

Saya sendiri merasa kurang mengenal kakek buyut leluhur desa karena tidak ada sumber yang bisa menjelaskan sosok Mbah Marsam lebih detail, apalagi Mbah Syarih. Anehnya, ada orang yang mengatakan Mbah Marsam masih Basyaiban dan Mataraman. Wallahu a'lam. Mana saya percaya bila tiada bukti arkelogis dan data tertulis atau saksi. 

Tapi, setidaknya berita itulah yang membuat saya ingin lebih dekat dengan leluhur, hal yang sangat dibenci oleh pemilik gen Yahudi beragama Islam. 

Dari jalur Ibu (Qomariyah), lumayan jelas ada Basyaiban dan Mataram Islam karena ada yang mengurus silsilah. Karena kejelasan silsilah jalur ibu, saya merasa menjadi cucu generasi ke-14 dari Sayyid Abdurrahman Basyaiban (Mbah Sambu, Lasem, Rembang) via Mbah Ustman bin Thuba (Sedang, Rembang). 

Dari jalur Ibu juga, saya masih nyambung silaturrahim dengan dzurriyah Mbah Sulaiman bin Thahir (Demak) karena berposisi sebagai wareng (cucu generasi ke-6). Mbah Sulaiman inilah yang disebut Bupati Demak sekarang (Nasir) sebagai leluhur pendiri pesantren hampir seluruh wilayah Demak.  
 
Jalur kakek dari Ibu (Shobari), ada juga yang pernah menyatakan kalau saya ada sambungan silsilah ke Mbah Kiai Mutamakkin. Tapi, saya minta dia menjelaskan urutannya, tidak bisa. Terang saja saya tidak percaya hingga kini. Yang saya tahu, Mbah Shobari memanggil Kiai Asro Surodadi sebagai Pak Lek. Urutannya bagaimana? Tidak ada yang menjelaskan.

Bagaimana dengan Mbah Marsam? Yang saya tahu kini, kata Masrifan, pathok makamnya hanya tinggal satu. Dan dulu ada tulisan aksara Jawa longkek-longkek itu di pathok makamnya, yang bila dibaca berbunyi "Marsam". 

Mbah Marsam adalah bukti bahwa manusia itu hakikatnya tidak ada. Ia hanya ada sebentar, wujud sementara. Setelah dilupakan cucu, ia kembali tidak ada, selamanya. Pathoknya saja hilang, apalagi namanya. Hanya waliyullah yang diingat banyak generasi karena jasa besarnya dan karena mereka la yamutuna. 

Yang ada selamanya qadim dan baqa' hanyalah Allah Swt.. Dan kekasihnya (habiballah), Kanjeng Rasulullah Muhammad Saw; yang ada dan disebut-sebut sejak Nabi Adam dicipta oleh Allah Swt., terutama saat menikah dengan Ibu Hawa'. Kita semua? Kadang sudah dianggap tidak ada saat masih hidup. Ya Allah. [badriologi.com]

Keterangan: 
Tulisan ini hanya dokumentasi, dan sudah diposting di Facebook pribadi penulis pada 2 Oktober 2020. Bila ada yang membantu niat saya nepungke dulur se-Ngabul, saya siap. Terutama yang masih ada hubungan darah dengan Bani Marsam bin Syarih atau Bani Zuhdi bin Sapan.

Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha