Ritual Rabu Wekasan, Bagaimana Hukumnya? -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Ritual Rabu Wekasan, Bagaimana Hukumnya?

Badriologi
Rabu, 22 September 2021
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
hukum shalat rebo wekasan menurut islam
Buletin Halaqah NU Ngabul Edisi 01 (PDF). Foto: badriologi.com.


Oleh M. Abdullah Badri


RABU Wekasan atau Rabu Pungkasan adalah hari Rabu terakhir tiap Bulan Shafar. Pada tahun 1443 H ini, hari itu bertepatan dengan 29 Shafar 1443 H/6 Oktober 2021 M. Diceritakan, dulu ada seorang waliyullah al-arifin yang mendapatkan ilham dari Allah kalau tiap Hari Rabu di akhir Bulan Shafar, turun 320.000 bala'. Disebutlah hari itu sebagai hari tersulit sepanjang tahun, yakni yaumu nahsim mustamir (hari naas yang berlanjut). 


Oleh Syaikh Khathiruddin Al-Aththar (w. 970 H), kabar ilham ini kemudian disikapi dengan shalat talak bala'. Anjuran ini ditulis beliau dalam Kitab Jawahirul Khamsah. Syaikh Ahmad Ad-Dairobi (w. 1151 H) juga menulis anjuran shalat ini dalam kitab yang populer disebut Mujarrobat Ad-Dairobi.


Baca: Dalil Nishfu Sya'ban dan Amalan Asyuro' (Halaqah Edisi 02)


Dalam Kitab Kanzun Najah was Surur, penulisnya, yakni Syaikh Abdul Hamid Kudus (w. 1334 H/1915 M) juga memuat hal serupa. Murid Syaikh Zaini Dahlan Makkah itu juga berlanjut menyarankan supaya teguh berdoa agar terhindar dari bala' sejak akhir hari Rabu Shafar. Beliau bahkan menuliskan doa khusus.


Di Indonesia, tradisi ini cukup populer di wilayah Jawa, Sunda dan Madura. Mereka mewarisi tradisi Rebo Pungkasan secara turun temurun. Di Desa Wonokromo, Plered, Bantul, Yogyakarta, misalnya. Tradisi tersebut masih rutin digelar tiap tahun sebagai bentuk syukur kepada Allah sekaligus peringatan jasa besar Kiai Faqih Usman (disebut Kiai Wonokromo atau Kiai Welit), yang dulu merupakan sosok penolak wabah penyakit. 


Konon, saat Mataram Islam dipimpin Sultan Agung, pada tahun 1600, Plered mengalami wabah pagebluk. Sultan mendapatkan solusi dengan cara menemui Kiai Welit untuk melakukan giat talak bala'. Kiai Welit kemudian menulis rajah Basmalah dalam 124 baris berbungkus kain mori agar dimasukkan di bokor kencana. Sejarah menunjukkan bahwa Rabu Pungkasan memang terkait dengan ritual talak bala'. 


lailatul ijtima nu ngabul jepara
Suasana rutinan Lailatul Ijtima' PRNU Ngabul, di Masjid Baitul Muttaqin, Gondelan, Ngabul, Tahunan, Jepara, Selasa (21/09/2021) malam.


Shalat Rabu Wekasan

Ritual paling banyak dilakukan oleh mereka yang mengerjakan adalah shalat. Hanya saja tatacara shalat Hari Rabu pada akhir Shafar itu relatif berbeda. Biasanya, shalat ini dikerjakan pada waktu dluha atau pagi hari setelah terbit Matahari. Jumlah rakaatnya ada empat dengan sekali salam. 


Kaifiyahnya, setelah membaca Al-Fatihah pada rakaat pertama, mushalli membaca Surat Al-Kautsar (17 kali), lalu di rakaat kedua membaca Al-Ikhlash (5 kali), dan Al-Falaq serta An-Nas (masing-masing satu kali) pada rakaat ketiga dan keempat. Usai salam, dia membaca Surat Yusuf ayat ke-21 = وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ sebanyak 360 kali, lalu ditutup dengan ayat سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (QS. As-Shaffat: 180-182). 


Ada yang menyarankan supaya membaca doa khusus yang dimulai dengan kalimat اَللَّهُمَّ يَا شَدِيْدَ الْقُوَى. Adapula yang menyarankan membaca Surat Yasin, dimana saat sampai pada ayat سَلَامٌ قَوْلًا مِنْ رَبٍّ رَحِيْمٍ diserukan mengulangi bacaan hingga 313 kali dan diakhiri dengan membaca shalawat munjiyat karangan Syaikh Shalih Musa Ad-Dlarir untuk meminta keselamatan dunia akhirat. (Kanzun Najah was Surur, hlm: 26-27). 


Selain menggelar shalat dan membaca Surat Yasin, beberapa kalangan melanjutkan giat talak balanya dengan cara memberikan sedekah kepada fakir-miskin, silaturrahim dan lainnya. Ada yang melanjutkan dengan membuat wifiq khusus yang ditulis dalam kertas lalu dilemparkan ke tempat-tempat penampungan air seperti sumur, bak mandi dan lainnya. 


Hukum Shalat Rabu Wekasan

Pada prinsipnya, semua jenis ibadah itu dilarang, kecuali sudah ada nash atau dalil yang memerintahkan pelaksanaannya. Kaidah Ushul Fiqih menyebutkan, 


الأصلُ في العباداتِ المنعُ


"Hukum asal dalam semua ibadah adalah dilarang".


Apakah shalat Rabu Wekasan ada dalil sharihnya dari Rasulullah Saw? Jawabnya: tidak ada. Atas dasar ini, shalat yang diniatkan khusus (ushalli) untuk bulan shafar, birrul walidain, li-qadla'id dain, ragha'ib (malam Jumat awal Rajab), nisfu sya'ban, asyura, kafarat shalat (Jumat akhir Ramadhan), waj'uddars, usbu' dan lain-lainnya, dihukumi tidak sah dan haram. Syaikh Abu Bakar Syatha bahkan menganggapnya sebagai bid'ah dlalalah, dan pelakunya harus dicegah (I'anatuth Thalibin, Vol: I, hlm: 270). 


Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari juga senada. Sebagaimana ditulis NU Online (5/11/2018), beliau menyatakan kalau tatacara shalat Rabu Wekasan tidak ada dalam kitab-kitab fiqih mu'tabarah semacam Taqrib, Mihajul Qawim, Fathul Mu'in, Tahrir, bahkan Muhadzdzab maupun Ihya’ Ulumiddin


Keputusan Muktamar NU

Pada tahun 1971 di Surabaya, Muktamar NU memutuskan haramnya melaksanakan shalat dengan niat khusus. Selain haram, shalat tersebut juga dihukumi tidak sah, sebagaimana keterangan yang diambil dari Kitab Tuhfatul Muhtaj Hasyiyata Syarwani wal Ubbadi (Juz II, hlm: 238). Saya kutipkan teksnya: 


ولا تصح الصلوات بتلك النيات التى استحسنها الصوفية من غير ان يرد لها اصل فى السنة. نعم ان أَطلق الصلاةَ ثم دعا بعدها بما يتضمن نحوَ استعاذة واستخارة مطلقةٍ لم يكن بذلك بأس


"Tidak sah shalat dengan niat-niat yang dianggap baik oleh kalangan sufi tanpa adanya dasar hadits sama sekali. Namun jika memutlakkan niat shalat kemudian berdoa sesudahnya dengan doa yang berisikan permohonan perlindungan atau istikharah (meminta petunjuk Allah Swt. untuk dipilihkan yang baik) secara mutlak, maka hal tersebut diperbolehkan". (Buku Solusi Problematika Aktual Hukum Islam 1926-2010, hlm: 350). 


Atas dasar itulah, dalam forum musyawarah NU Jawa Tengah yang digelar pada 1978 di Magelang memutuskan haramnya shalat khusus Rabu Wekasan, kecuali diniatkan sebagai shalat mutlaq atau shalat hajat, yang tidak terikat sebab, waktu maupun bilangan khusus, sebagaimana ditulis Syaikh Abdul Hamid Kudus dalam Kanzun Najah was Surur di halaman 23. [badriologi.com]


Keterangan:

Artikel ini dimuat pertama kali di Buletin Halaqah Edisi 01 yang diterbitakan oleh LTN NU Ngabul dan didistribusikan gratis dalam rutinan Lailatul Ijtima’ di Masjid Baitul Muttaqin, Gondelan, Ngabul, pada malam Rabu Legi, 15 Shafar 1443 H/21 September 2021 M. 


Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha