Wisokromo: Pedati Rakyat Lapar dari Juwana -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Wisokromo: Pedati Rakyat Lapar dari Juwana

M Abdullah Badri
Senin, 25 Juli 2022
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
wisokromo pedati rakyat juwana
Gambar ilustrasi pedati atau gerobak padi. Foto: istimewa.

 

Oleh M. Abdullah Badri


WISOKROMO adalah nama tokoh pejuang masyarakat kecil di Juwana (Pati) yang hidup melintas zaman sejak akhir Majapahit hingga awal Mataram Islam. Wajahnya agak bulat, berjenggot panjang, putih-tampan, bertubuh tegap dan tinggi semampai dengan blangkon yang selalu terpakai. 


Ia adalah salah satu murid Sunan Kalijaga yang mendapatkan amanat khusus memberi makan kepada fakir-miskin yang membutuhkan, hingga akhir hayat. Tutur bahasanya juga halus namun tegas. Laiknya "Kromo", namanya, yang dalam bahasa Indonesia berarti halus.


Meski lahir di Jawa, Wisokromo memiliki garis keturunan seorang pedagang yang berasal dari Gujarat, India. Di masa itu, Juwana adalah pelabuhan besar yang biasa dijadikan transit pelaut dan pedagang lintas negara. Kakek Wisokromo memilih Juwana sebagai tempat tinggal karena faktor bisnis, barangkali. 


Garis keluarga pedagang inilah yang membuat Wisokromo memiliki banyak kekayaan. Konon, ia memiliki 12 pedati atau gerobak gabah yang bisa disewa oleh siapa saja yang membutuhkan, lengkap dengan ratusan karung pengangkut barang. Sayangnya, ia hidup di wilayah yang dipenuhi bencana kelaparan akibat pungutan pajak kerajaan yang mencekik rakyat serta moral yang rusak. 


Baca: Waktu Terlipat Saat Wali Paidi Ziarah Walisongo Jalan Kaki


Terkisah, di desanya sana, tiap saat banyak mayat kelaparan bergelimpangan hingga menimbulkan bau menyengat berhari-hari karena tak diurus. Kadang, Wisokromo menguburkan mereka. Hanya yang kenal saja yang ia kubur. Ia tak mampu menguburnya sendirian saking banyaknya. 

 

Mereka yang mati karena lapar adalah para petani sawah yang tidak pernah memakan hasil panennya karena tiap panen, prajurit kerajaan selalu datang mengambil paksa semuanya atas nama pajak. Tak ada yang berani melawan. 


Daripada mati, lebih baik hidup kelaparan walau hanya makan tunas pisang (Jawa: ontel). Begitulah pilihan hidup mereka. Bagaimana tidak, tanaman semacam padi, jagung, ketela dan lainnya, diambil semuanya tanpa sisa oleh prajurit pajak. Konon, Juwana diperlakukan seperti itu karena pemimpinnya tidak mau tunduk total secara politik kepada penguasa. 


Meski netral (tidak memihak kerajaan), keluarga Wisokromo tidak terdampak kelaparan, karena ia, selain kaya, juga seorang tetua yang cukup memiliki pengaruh dan disegani.  


Tiap datang ke desa untuk pungut pajak, orang pertama yang ditemui para prajurit kerajaan adalah Wisokromo. Dialah satu-satunya orang yang memiliki pedati angkut saat itu, di desa itu. Artinya, meski tidak memiliki afiliasi kesetiaan dengan kerajaan, jasa Wisokromo dibutuhkan oleh para prajurit. 


Dari pedati itulah ia bisa membantu rakyat kecil yang kelaparan. Caranya, usai pedati disewa prajurit kerajaan, ia mengumpulkan sisa-sisa padi dari sela-sela alas kayu pedati dan karung-karung. Jika semua pedati disewa, ia bisa menghasilkan sedunak padi yang bisa dibagikan ke warga, meski ada yang hanya dapat bagian secangkir saja per keluarga. Warga desa baru bisa memasak padi ya saat Wisokromo keliling bagi-bagi beras itu. Atas jasanya inilah, Wisokromo selalu disembah hormat ketika ia melintas dan menyua warga sekitar. 


Suatu ketika, ia kena marah oleh istri karena ketahuan memberi secangkir beras untuk ibu kurus lapar menyusui, padahal keluarganya juga sangat membutuhkan. Wisokromo memilih diam atas nama kepedulian. Istrinya marah karena penyebab ibu menyusui kelaparan itu bukan kalaliman penguasa, melainkan kelakuan suaminya yang suka berfoya-foya, main judi, sabung ayam, mabuk setelah tayuban dan main perempuan. 


Jadi, selain pungutan pajak lalim, terjadinya bencana kelaparan parah di zaman Wisokromo adalah karena rusaknya tatanan moral keluarga juga. Hingga akhir hayatnya, Wisokromo sedih. Melawan penguasa tidak bisa, ndandani masyarakat yang moralnya rusak juga belum berhasil. Yang bisa dia lakukan ya hanya bisa bagi-bagi beras sisa saja. 


Kadang, ia jengkel dengan kelakuan komplotan pencuri. Suatu kali, pedatinya pernah hilang. Tak terima, ia mencari si pelaku. Begitu ketemu, Wisokromo menghabisi semua kelompok pencuri tersebut tanpa sisa. Ilmu kependekaran ia pakai dalam situasi ini. Meski sempat luka di bagian punggung, ia tidak peduli. 


Baca: Khilafatul Muslimin: Benalu dan Propaganda Gincu


Konon, Wisokromo memiliki ilmu natural sakti yang ia dapatkan tanpa belajar, yakni "ilmu mati, urip neh" (bukan rawarontek). Ilmu ini bakal aktif sendiri bila ia dilukai musuh dari belakang; ditikam atau dipanah. Awalnya terlihat mati, tapi, tiba-tiba saja orang melihat dia sedang sibuk macul atau duduk sambil ngopi di teras rumah. Terkabar, ia mendapatkan keistimewaan ini karena doa orang-orang kecil kelaparan yang selalu menunggu kehadiran dia menolong saat dibutuhkan. 


Dua belas keturunannya ada yang mewarisi ilmu tersebut. Tapi sayang, jalan yang ditempuh mereka berbeda, alias putus sanad iman. Tersiar, saat meninggal, keturunan Wisokromo banyak mengambil posisi sila, tidak dalam posisi sujud di usia 98 tahun seperti Wisokromo, yang seorang mukmin selamat barzakhiyyah karena bersyahadat jejeg (walau dengan amalan syariat minimalis ala Islam Kejawen). 


Atas alasan itulah, keturunan Wisokromo yang di masa sekarang sudah di generasi ke-12 atau ke-14, banyak yang sengaja ditutupi silsilahnya atau dikubur sejarahnya. Dan memang begitulah sebaiknya. [badriologi.com]


Mohon kiriman Al-Fatihah khusus untuk Mbah Wisokromo yah! Untuk kepentingan para dzuriyah yang ingin meniru jejak beliau. Supaya tidak kepaten obor


Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha