Pamflet ziarah makam Bapak. |
Oleh M. Abdullah Badri
TIGA kali saya harus menjawab pertanyaan orang yang datang untuk mencari biografi ayah saya, allah yarham Muhammad Badri bin Abdul Hadi. Harus berulang mengulang jawaban yang sama, saya putuskan untuk menulis biografi Bapak saya dalam bentuk syair Bahar Rojaz, lebih dari 200 bait. Saya beri judul Manaqib Al-Badriyah.
Dalam manaqib singkat tersebut, saya ungkapkan dalam syair Arab bahwa nama kecil Bapak adalah Busyairi. Karena sakit-sakitan, digantilah dengan Muhammad Badri. Lahir di Ngabul, 12 Desember 1951, 74 tahun silam. Ibunya bernama Hj. Nafsiyah binti Zuhdi, Ketua Muslimat Ranting Ngabul hingga wafat. Bapak hanya punya satu saudara kandung, yakni H. Masdim Abdul Hadi. Konon, nasab ayah bertemu ibu kepada Sunan Kalijaga dan Mbah Sambu Lasem.
Mbah Abdul Hadi, kakek saya, adalah pendiri NU Ranting Ngabul dan ketua pertamanya di era PKI. Sedangkan Bapak saya adalah Rais Syuriah MWC NU Tahunan pertama sejak kecamatan Tahunan dipecah dari kecamatan Jepara Kota.
Sebelum mengabdi di NU, masa muda bapak tidak tertarik dengan ilmu agama. Padahal, ayahnya adalah pengelola mushalla yang sekarang diberi nama Mushalla Al-Firdaus. Bapak tertarik dengan bisnia ukir kayu. Murid ukirnya banyak. Sampai sekarang tidak melupakannya. Saya kadang bertemu dengan mereka.
Maklum, bapak adalah lulusan STM Jepara bidang seni ukir. Pandai melukis juga. Salah satu gurunya adalah KH. Ali Irfan, mantan wakil Bupati Jepara. Salah satu prestasi ukirnya adalah mengukir 8 lawang pendopo kabupaten, yang sepertinya masih digunakan hingga kini. Dari bisnis ukirnya, bapak bisa membangun rumah dan menjadi pemilik motor lanang satu-satunya di masanya. Dia sudah kaya di usia muda.
Namun, pada usia 30an tahun, hidup Bapak berubah total. Dia ingin mendalami ilmu agama seperti ayahnya, yang juga murid Mbah Hasbullah Balekambang. Akhirnya, di usia telat, ayah dipondokkan oleh kakek Abdul Hadi ke Pesantren Pondowan, Tayu, Pati, di bawah asuhan KH. Muhammadun.
Kata Mbah, siapa yang mondok di sana 3 tahun berturut, ilmunya akan manfaat. Bapak benar-benar menjadi santri selama 3 tahun di Tayu. Untuk mengejar ketertinggalkan Nahwu Shorof, Bapak tak sungkan belajar dengan anak santri yunior yang hapal Alfiyah Ibnu Malik.
Di tengah mondok, bapak juga menyempatkan posonan kitab dan Al-Qur'an tiap Muharram, Ramadhan dan Maulid ke beberapa pondok pesantren. Antara lain ke Diniyah Kradenan Kudus, pondok KH. Arwani Amin (Kudus), Pondok Kaliwungu (KH. Dimyathi Rais), Pondok Sarang (KH. Abdurrahim), Pondok Cepiring (Kendal), Pondok Lirboyo dan Pondok Balekambang (KH. Abdullah Hadziq). Rihlahnya mondok baru berhenti ketika anak ketiganya, putri, lahir.
Pada tahun 1982, Mbah Abdul Hadi wafat. Bapak baru menikah pada 1983, setahun setelahnya. Saya lahir 1985, dua tahun setelah Bapak menikah Ibu saya bernama Qomariyah binti Shobari (Bugel, Kedung, Jepara). Anak ke-12 (terakhir) lahir 2011 dalam kondisi yatim bersama 4 saudara lainnya.
Setelah menikah, bapak tidak lagi menekuni bisnis mebel maupun ukiran, yang dulu telah membuatnya jaya. Untuk menghidupi keluarga, bapak berjualan akik dan barang antik lainnya. Namun, sebagaimana pesan Mbah Madun Pondowan, bapak terus mengajar di Diniyah Mamba'ul Falihin, dimana dia juga muassisnya. Ia mengajar Nahwu, Shorof, Fiqih, Tauhid, dll.
Tiap pekan sekali, malam Ahad, bapak mulang ngaji Tafsir Jalalain, seperti diwasiatkan oleh Mbah Him Sarang kepadanya. Murid ngajinya sedikit. Silih ganti. Demikianlah prediksi Mbah Madun. Namun, Mbah Madun berpesan, walaupun sedikit, janganlah tinggalkan mulang ngaji.
Hingga wafat, Tafsir Jalalain masih dibaca sebagai wirid ngaji, mengikuti pesan Mbah Him Sarang. Namun, sepanjang hidupnya, bapak dikenal sebagai orang fiqih. Bapak senang bila ada yang datang dan bertanya soal fiqih. Baginya, ini adalah kesempatan muthala'ah kitab. Dan Bapak memang tidak pernah absen membaca kitab walaupun hanya 15 menit sehari, sebagaimana pesan Mbah Madun Pondowan.
Kepada keluarganya, Bapak menerapkan fiqih galak. Tapi, kepada orang lain, dia melonggarkan. Ini yang membuat saya berkali-kali protes. Beberapa contohnya saya muat di nadhom Manaqib Al-Badriyah. Harganya murah, 35 ribu saja.
Anehnya, Bapak sama sekali tidak pernah mengajarkan kepada 12 anaknya untuk survive mbogawe, sebagaimana wong Cino, yang mewariskan gawean kepada anak-anaknya. Bahkan, saya diharamkan belajar ukir sampai alat ukir saya pernah diumpetke Bapak agar saya berhenti belajar ngukir. Alasannya, mengukir bisa melupakan ilmu.
Jalan hidup Bapak adalah kuat ngempet (menahan - تمسك التحمل). Ngempet miskin, ngempet isin, ngempet dipaido wong. Suatu kali, saya mengantar Bapak ngisi ngaji syuriahan, tapi, saya disuruh berhenti di perempatan, dan bapak jalan menuju lokasi. Kata Bapak, itu biar saya tidak ujub punya ayah seorang kiai. Makanya, saya tidak punya jejaring dekat yang dulu berkaitan dengan Bapak. Nol prutul hingga saya menjadi Ketua MDS Rijalul Ansor Jepara sekalipun. Nol prutul.
Saking sibuknya tiap hari khidmah ke masyarakat, Bapak tidak punya uang untuk memperbaiki rumahnya. Sejak kecil, saya tiap malam kenyang (wareg) sego berkat hasil doa hajatan. Dan yang membagi telur berkatnya kepada belasan saudara lain saya adalah Ibu saya, Qomariyah. Hampir tiap hari Bapak ada tamu minta hajat terkait lahiran, kematian, tahlilan, nikahan, wis sak mboh abreg. Makanya tidak sempat mbogawe seperti wajarnya orang lain.
Yang pasti, ketika saya dan adik-adik saya butuh uang, Bapak mengambilnya dari kitab kuning. Bapak tidak punya dompet. Butuh uang, ya buka kitab. Ilmu ini yang saya sendiri tidak mau mewarisi dan mempelajarinya. Mung cukup kanggo mangan soale. Haha.
Bapak wafat pada Jumat Wage, 26 Dzul Qa'dah 1433 H/12 Oktober 2012 M setelah terkena sihir gaib. Peristiwa ini mengingatkan saya ketika disihir pada Februari 2025 lalu. Ayah saya wafat kena sihir, Mbah saya jalur ibu juga sama, kena sihir. Bila saya berakhir terkena sihir, waktu itu, saya sudah pesan liang lahat sebelah Selatan makamnya Bapak. Namun, Allah Swt berkehendak lain, saya masih diberi nafas untuk berbuat.
Baca: Dokumen Pengalaman Disantet Medis dalam Syair Bahar Rojaz 90 Bait
Besok, tanggal 17 Oktober 2025, rombongan syuriahan MWC Tahunan hendak ziarah ke makam Bapak, saya katakan kepada mereka yang ziarah:
أَشْكُرُ شُكْرًا لَكُمُوْ تَزُوْرُونْ :: ضَرِيْحَ وَالِدِيْ لَعَلَّ تُقْبَلُونْ
"Terima kasih atas kunjungan ke makam ayahanda saya, semoga diterima".
Untuk kisah lebih lengkap tentang biografi Bapak saya Muhammad Badri, silakan miliki kitab nadhomnya. Biar saya tidak cerita berulang-ulang. [badriologi.com]