Pemberdayaan Ekonomi Perempuan di Indonesia yang Masih Setengah Hati -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Pemberdayaan Ekonomi Perempuan di Indonesia yang Masih Setengah Hati

M Abdullah Badri
Sabtu, 22 Agustus 2009
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
kebijakan ekonomi perempuan masih banyak problem
Contoh pemberdayaan ekonomi perempuan. Foto: istimewa.
Oleh M Abdullah Badri

KRISIS pangan yang melanda Indonesia, benar-benar melilit rakyat. Ketidakberdayaan orang kecil menghadapi lonjakan bahan pangan kian terasa seiring dengan kondisi ekonomi bangsa yang berjalan ditempat.

Lihat saja antrean panjang yang terjadi di beberapa daerah ketika dibagikan minyak goreng dan beras murah. BLT. Betapa sulit hidup di negeri ini, padahal kekayaan alam melimpah ruah di sana.

Himpitan ekonomi menjadi faktor pencipta krisis moral yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana kriminal. Tidak jarang, karena alasan ekonomi, seorang gadis rela menyerahkan keprawanannya kepada lelaki hidung belang.

Begitu pula seorang ibu. Karena tak kuat lagi menahan jeratan kemiskinan, ia tega mengakhiri hidup anaknya, sebagaimana yang terjadi beberapa waktu lalu di Pekalongan.

Baca: Abah Luthfi: Ada yang Lebih Mengerikan Setelah Wahabi Lenyap

Kita juga bisa menyaksikan anak-anak usia dini yang kehilangan keasyikan bermain lantaran harus bekerja membantu orang tua. Bahkan sebagian besar dari mereka harus putus sekolah karena tak ada biaya. Faktor ekonomi juga menjadi alasan seseorang melancong ke negeri orang. Demi sesuap nasi, ia mengorbankan keluarga dan lingkungan yang dicintainya.

Pemberdayaan Ekonomi Perempuan?

Lalu, apa yang akan kita lakukan melihat sedemikian kompleks problem kemiskinan masuk dalam sendi-sendi kehidupan bangsa? Data yang ada menunjukkan bahwa angka kemiskinan kini menjadi 34,17 juta orang atau 16,58% dari keseluruhan total penduduk Indonesia.

Bahkan Bank Dunia memperkirakan lebih dari angka tersebut. Badan keuangan internasional itu menyebut angka kemiskinan Indonesia masih diatas 100 juta orang atau 40 % dari total penduduk yang pada 2008 ini mencapai 236,4 juta jiwa. Itu berdasarkan perhitungan penghasilan dibawah US$ 2/hari/orang. (Sukardi Hasan: 2008).

Cukup alasan untuk mengatakan bahwa krisis yang melanda Indonesia harus segera ditangani bila tidak ingin merangkak pada level yang membahayakan. Betapa tidak, proses pemberdayaan sumber daya yang ada tidak dijalankan dengan serius.

Pengembangan sektor ekonomi riil menengah ke bawah masih ditangani setengah hati. Padahal, sektor ini yang justru banyak digeluti rakyat kecil. Membantu kehidupan mereka. Terutama perempuan.

Jika kita menilik lebih jauh, ternyata ditemukan fakta bahwa perempuan mendominasi dalam sektor usaha menengah, usaha mikro dan usaha subkontrak. Sebagaimana dilansir Badan Pusat Statistik dan Unifem, perempuan yang bekerja dalam sektor-sektor tersebut menembus hingga 62,2 % (data 2000). Angka itu hingga kini belum berubah. Bahkan terus bertambah seiring dengan pesatnya UKM-UKM yang berkembang di masyarakat.

Baca: Filantropi Rombongan Celana Tinggi (RCT) Wahabi di Indonesia

Apa yang kita lihat menunjukkan bahwa perempuan menyimpan potensi besar sebagai pilar ekonomi bangsa. Diperkirakan, di masa yang akan datang, sektor ekonomi menengah ke bawah akan menjadi pilar ekonomi negara yang kebanyakan ditekuni perempuan. Di sinilah perempuan memiliki peran penting.

Di tengah krisis global seperti sekarang ini, serta melihat potensi yang ada, pemerintah seharusnya menjadikan perempuan sebagai pilar kekuatan ekonomi. Mereka layak mendapatkan tempat sebagai pendongkrak kemerosotan ekonomi bangsa. Kita mengharapkan inovasi dan ide-ide kreatif dari kaum perempuan. Kesabaran, ketelitian dan keuletan mereka menjadi bekal utama dalam membangun ekonomi bangsa.

Dari sini, diharapkan akan melahirkan pialang-pialang ekonomi dari perempuan. Di masa Nabi Muhammad Saw., Khadijah bisa dijadikan contoh wanita karir yang sukses dan kaya raya. Dengan hartanya, ia mampu membantu dakwah Nabi.

Ya, Khadijah menjadi donator utama penyebaran Islam ketika itu. Padahal, saat itu budaya Arab masih kental dengan patriarkhi, di mana kaum laki-laki begitu kuat mendominamsi peran publik. Khadijah adalah contoh perempuan sukses yang diimpikan bangsa kita, Indonesia.

Tidak ada lagi alasan bagi perempuan untuk tidak terlibat dalam partisipasi publik. Keran kebebasan yang demikian terbuka sejak reformasi menisbatkan setiap elemen bangsa ikut berpartisipasi membangun terciptanya kesejahteraan hidup. Termasuk perempuan.

Baca: Hutang Lunas dengan Berbakti Kepada Orangtua

Bukan seorang "reformis" bila perempuan masih berpangku tangan, nerimo panduming suami, karena sekarang bukan era patriarkhal. Di tengah kebuntuan ekonomi suami tidak mencukupi, perempuan juga harus terlibat dalam pemenuhan kebutuhan keluarga, sehingga antrian membeli minyak dan beras murah tidak tampak begitu panjang seperti sekarang. Apalagi pasca kenaikan BBM.

Jika Khadijah, yang hidup dalam budaya patriarkhi mampu membantu Nabi menjalankan misi dakwahnya, paling tidak perempuan reformasi diharapkan dapat membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga.

Sektor usaha mikro menjadi lahan bagi perempuan mengasah kreatifitasnya. Mereka memang potensial menjadi pilar penguat ekonomi bangsa. Semoga tidak ada lagi kasus seorang Ibu membunuh buah hatinya karena terbelit kemiskinan. [badriologi.com]

Keterangan:
Esai ini pernah dimuat Harian Semarang, 20 Agustus 2009
Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha