Oleh M Abdullah Badri
SAYA paling suka mengambil sikap marah kepada siapa saja yang menyeret-nyeret nama orangtua saya untuk kepentingan dirinya atau untuk melegitimasi tindakannya, atas nama orangtua. Sikap marah itu sepertinya tidak pernah saya ambil sebagai pilihan ketika saya sendiri yang dihina, atau, orang yang menghina saya tidak mengetahui saya.
Pernah saya dihujat oleh banyak orang karena saya tengah menjalankan dawuh/titah guru, yang dengan sadar dan penuh risiko, hal itu jelas akan memancing kemarahan dan ketidaksetujuan ribuan dan bahkan puluhan orang. Misalnya saat saya menulis buku "Dalil Sejarah TBS" atau Buku "Meneguhkan Jepara Bumi Aswaja".
Tapi, karena sadar hal itu sebagai risiko nderek titah guru, saya hanya mengambil sikap tenang, tersenyum, dan i dont care! Beda ketika misalnya guru saya dan atau orangtua saya dihinakan dan dihardik di hadapan saya, atau di belakang, ada yang memanfaatkan nama orangtua karena dia punya kepentingan.
Baca: Dilarang Doktor Islam-Sejuk Komentari Ceramah "Goblok"-nya Gus Miftah
Suatu kali, ada ibu-ibu datang ke rumah. Saya yang sedang tidur siang mendapatkan laporan kalau ibu-ibu tadi membuat orangtua saya (ibu) sampai gemetaran dan menangis karena habis diramarah-marahin si ibu tadi hanya karena dia menagih uang yang tidak pernah digunakan oleh orangtua saya. Ceritanya panjang. Tapi ibu saya yang jadi sasaran.
Tanpa panjang lebar, saya tanggung semua pintanya, tapi saya marahin habis-habisan di depan ibu saya juga karena cara dia datang tidak saya anggap sopan. Membuat ibu menangis, berarti telah membuat hati saya menangis. Saya bentak-bentak tamu tak diundang itu hingga saya sendiri menangis. Tidak tega melihat ibu menangis karena dituduh macam-macam atas hal yang si penuduhnya saja saya tanya tidak tahu.
Marahnya Orang Sabar Bahaya
Ternyata, sikap marah saya itu membuat si ibu akhirnya melunak. Dan katanya, baru kali ini dia mengaku mendapatkan perlakuan marah dari seorang pemuda yang katanya, didasari sikap cintanya kepada ibundanya. Saya penuhi semua pintanya. Saya sediakan ugorampe yang diminta olehnya.
Tapi dia terlambat datang mengambil apa yang dia sebut sebagai hak. Alasannya, dia sakit sejak saya marahin. Energi marah saya memang sengaja saya limpahkan hingga membuatnya jadi kurus badan. Risiko belakang saya sadar ada, tapi buat orangtua saya, ibu saya, saya siapkan segalanya. Dia akhirnya yang meminta maaf di kemudian.
Baca: NU dan Generasi yang Diburu Informasi
Hari ini, Kamis (09/05/2019), kembali saya mendengar ibu dan nama (alm) bapak digunakan salah satu saudara untuk kepentingan yang sangat merugikan banyak pihak lain. Saya ceritakan kronologisnya kepada ibu, dan beliau langsung bersabda, "mati wae, penjarakke wae rak wis nang," katanya, yang sudah lama menyimpan kecewa kepada mereka selama setahun terakhir.
Keluarlah ucapan-ucapan yang selama ini saya pilih untuk saya keluarkan kepada siapa, antara lain:
"Wingi aku meneng, mung meneng. Tapi bar krungu jengene ibu karo bapak diseret-seret kanggo ngakali wong akeh, ancen aku ra trimo. Asu kuwe! Iseh nyalahi kangane, ibuke, sak bakyune. Utek kopyor kok dirawat. Santet gak kiro-kiro dikirim kabeh".
Hanya ini yang membuat saya kuat melindungi orangtua saya,
Allah Ta’ala berfirman,
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
Artinya:
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-Hijr: 94)
Karena orangtua adalah wali yang lebih wali daripada walinya Allah. Dan barang siapa memusuhi walinya Allah, maka, bacalah hadits ini,
مَنْ عَادَى ليَ وَلِيّاً ، فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالحَرْبِ
Artinya:
"Barangsiapa yang memusuhi wali–Ku maka sungguh kata Allâh aku telah mengumumkan perang terhadapnya". [badriologi.com]
gak marah cuma kecewa, hak untuk marah, ahok marah, tak marah ke twitter, orang tua marah kepada anak, karena sayang, orang tua marah2, cara mengatasi orang tua marah