"MOBILMU dimana?"
"Saya sewakan Lek," jawabku kepada Lek Dar, habis tarawih.
Kata Lek Dar, tetangga yang juga kerabat, beberapa hari ini ada yang mencari namaku dari BPKB Mobil Avanza silver. Namaku Naumi Urada, asli kelahiran Jepara, yang beberapa bulan ini belajar nyetir mobil baru hasil kredit dari dagang krupuk setiap bulan. Mobil aku sewakan karena memang kebetulan sepi pelanggan.
Selama dua Minggu ini, memang ada sahabat lama yang datang untuk menyewa mobil. Kuberi tarif 3 juta, yang bisa aku gunakan untuk mengangsur bulanan sekaligus ada kelebihan 700 ribu. BPKB kuberikan, tapi sudah dua hari ini hapenya sulit aku hubungi. Lek Dar menyadarkanku akan sesuatu. Dag dig dug.
"Mbak, sewanya sudah telat. Solusi sampeyan gimana, aku harus bayar kreditan mobil, dan sudah telat ini," dia kelabakan ketika aku datang secara tiba-tiba ke kontrakannya di Kudus. Tampak kontrakannya tak terawat, bajunya pun compang-camping seperti tak pernah berdandan untuk suami dan pelanggan toko pasang gigi yang konon masih lancar jaya.
Baca: Hak Marah Bila Orangtua Dihina
"Aku pinjam motormu dulu, Mbak, mau aku carikan uang pinjaman untuk jenengan sebagai sewa mobil. Motorku dan suamiku pas kebetulan hari ini tidak ada," jawabnya setelah kudesak agar harus ada duit bayar sewa mobil.
"Tidak, aku antarkan saja kemanapun kamu pergi asal dari sini aku pulang bisa bawa uang 3 juta".
Aku dan dia mengendarai Vario putih muter-muter ke beberapa temannya. Seharian hasil ngemis-pinjam hanya dapat 1 juta.
Suami kutinggal di kontrakannya dan sibuk mencari apa saja yang bisa dibawa sebagai ganti sewa mobil. Sayangnya, tidak ada perhiasan dan barang berharga lainnya yang bisa diambil.
"Itu sebetulnya bukan tanggungjawab saya dan suami Mbak".
"Kamu yang pinjam kok orang lain yang tanggungjawab, sih?"
"Bukan begitu, itu mobil Mbak lihat sendiri tidak ada di kontrakan saya, tapi dibawa oleh kakakku yang Polisi".
"Oke, ayo aku diantar ke kakakmu sekarang!"
"Jangan Mbak!"
"Loh, kan tadi bilang yang menggunakan mobilnya si kakak, sekalian aku mau lihat mobilnya dimana. Biar sama enaknya".
Mbulet, kuajak dia pulang bertemu keluarganya di Jepara. Dia mengelak dengan alasan takut dimarahi kakaknya dan harus seijin suaminya dulu yang ngglibet entah dimana.
***
"Ibu, perkenalkan nama saya Naumi Urada, teman putri Anda, Mila," kataku saat disambut ramah orangtuanya, di rumah, didampingi kakak perempuannya yang setelah ngobrol ngalor-ngidul ternyata jadi korban adiknya juga. Duh.
Kali ini dugaan suamiku menemukan kebenaran. Saat datang menyewa mobil sekitar 3 Minggu lalu, Mila dan suaminya terkesan sangat lihai berbohong, tapi kurang canggih dan ndeso cara-cara yang mereka gunakan.
Aneh pula aku pikir, mereka tidak sering bertemu dengan kami sekeluarga, tapi sikapnya sangat manis dan terlihat sok ngakrab.
"Ini anak kayaknya sombong amat, suaminya tindikan kuping pula, padahal ngaku keluarga baik-baik," aku menyesali gumam suamiku itu, yang dulu tidak kupercaya hingga akhirnya aku mau melepaskan BPKB tanpa akad perjanjian sewa apapun, hanya karena pengakuannya sebagai anak keluarga terhormat dari desa sebelah.
Aku sempat merekam beberapa kali ucapan laki-laki tindikan itu, agar Mila menjual saja tanah bagian warisan ayahnya. Sempat pula kunasehati tentang ketidakberkahan menjual harta warisan orangtua, yang menurut orang Jawa adalah pusaka yang harus dijaga.
Cerita Mila tak seindah omongannya. Dia takut bertemu orangtua dan belasan saudaranya di rumah karena sudah sejak 4 bulan terakhir dia tidak pernah pulang, menghindar dari banyak masalah. Kata Ibu kosnya di Kudus, Mila dan suaminya hanya berada di kontrakan saat malam dini hari tiba. Pagi hingga malam menjelang, mereka sudah pergi meninggalkan kontrakannya yang kotor dan tak terawat.
Orangtua Mila, kakaknya, laki-laki maupun perempuan, terkena imbas omongan nggedebus-nya ke beberapa orang, di banyak tempat berbeda. Aku hanya satu dari sekian korbannya. Dari penuturan kakaknya, Mila dan suaminya terlibat banyak masalah keuangan dengan tipu daya atas nama hutang dan pinjaman yang tidak selesai dibayar.
Baca: Dar Der Dor Teluh Malam Jumat
Sang kakak tertua misalnya, ia dihubungi beberapa teman Mila karena Mila dikabarkan menanggung hutang dari nenek sepuh kenalannya di Kabupaten Demak. Nilainya 1,2 juta. Ia menghubungi si kakak untuk mengadu kalau Mila menggunakan nomor hapenya untuk keperluan meminjam di sebuah BMT. Sehingga kala Mila tidak membayar, dia yang ditelepon.
Orangtuanya sempat memarahinya karena dianggap tidak bertanggungjawab mengambil pinjaman BMT. Padahal, dia sama sekali tidak tahu-menahu. Nilainya hampir 2 juta. Penagih BMT acap menelponnya tiap saat. Ia kecewa kepada Mila karena sebagai teman, dia tidak pernah membicarakan soal nomor hape yang digunakan sebagai penjamin uang hutang.
Aku mengetahui, kakak tertuanya inilah yang pertama membongkar aksi-aksi tipudaya nggedebus si Mila sejak ketahuan mendatangi salah satu saudaranya di desa sebelah demi keperluan hutang 30 juta dengan jaminan BPKB Mobil Avanza juga, tapi bukan atas namaku. Aku juga yakin mobil itu adalah mobil rental selainku.
Sejak dibongkar sang kakak tertua, Mila tidak pernah pulang ke rumah di Jepara. Beberapa pekan kemudian, kakak tertua perempuan Mila juga menjadi korban. Ceritanya, BPKB motor Mio Merah milik kakak perempuannya diminta Mila untuk dipinjamkan ke salah satu penerima jasa kredit di Kudus. Nilainya 7 juta seingatku. Tapi, berjalan 3 bulan, Mila terdeteksi keluarga tidak membayar, alias telat.
Kakak perempuan Mila pun jadi korban tagihan pihak lising tersebut hingga motor satu-satunya untuk mengajar terancam diambil oleh pihak lising. Mengalah, hutang Mila dibayar hingga beberapa bulan sampai harus lunas setahun kemudian, yang per bulannya 700 ribu. Mila yang meminjam, kakaknya yang membayar. Otak songong.
Teman masa kecilnya di desa juga sempat menagih hutang 1 juta ke ibundanya yang sudah sepuh. Andai Mila tidak dimarahi ibunya sendiri, hutang itu mungkin sudah lenyap tak terbayar olehnya sampai entah kapan.
Tetangga Mila yang menjadi penyedia jasa kredit barang pun tak luput jadi korban. Beberapa bulan lalu, kata kakak laki-laki keduanya, Mila kredit televisi ke tetangga terdekatnya tersebut. Tapi kabar terakhir dia tidak lagi membayar kreditan. Dan aku, ketika datang ke kontrakannya di Kudus pun tidak melihat ada televisi maupun barang-barang elektronik rumah tangga lainnya. Mungkin sudah digadaikan pula, menurutku.
Sejak tidak pulang ke Jepara empat bulan terakhir, keluarga kakak tertuanya sering terkirim teluh bertubi-tubi. Begitu pula ibunya, sering mengalami penyakit yang bila diperiksakan ke dokter, tidak terdeteksi definisi penyakitnya. Suami Mila, kata beberapa orang pintar, hendak menghabisi keluarga ibunya dan kakaknya serta saudara iparnya. Innalillah.
Baca: Antena Wifi Bisa Menyambar Setan Santet Kiriman Jadi Petir
"Dia bukan mantu, tapi jaran (kuda). Ibu saja diganggu, setan tenan. Alhamdulillah keluarga kuat hadapi suami Mila yang aslinya dari Madura itu," kata kakak laki-laki tertua Mila soal suaminya yang kurangajar itu.
Aku hanya mengela nafas mendengar cerita sedih yang dialami oleh keluarga Mila, yang sudah dirugikan nama baiknya, disuruh menanggung ulahnya, masih pula dikirim teluh oleh suaminya bersama lek nya di Semarang dan Kudus. Speechless hati ini mau berkata apa. Aku datang ke keluarga hanya meminta solusi di mana mobilku? Itu saja. Tapi....
***
Sehari berikutnya usai dari rumah keluarga Mila, aku mendapatkan kabar baik. Mobilku masih ada di tangan seseorang yang ternyata adalah korban Mila juga. Ceritanya, mobilku disewa Mila dan suaminya untuk kemudian digadaikan ke orang tersebut. Ya Allah...
Dua kali Mila dan suaminya menggadaikan mobilku ke penyedia pinjaman di desa sebelah tersebut. Pertama, dia meminjam 25 juta dengan alasan untuk membantu mertuanya di Madura yang sedang operasi. Beberapa hari kemudian, uang tersebut dikembalikan Mila senilai 20 juta.
Kala hutang dengan jaminan mobilku itu tersisa 5 juta, Mila mengambil pinjaman lagi senilai 15 juta. Alasannya, suaminya sedang kena denda 15 juta akibat memukul seseorang. Total hutang Mila akhirnya pun kembali menjadi 20 juta.
Pihak penyedia hutang makin kelabakan ketika jatuh tempo bayar nomor telepon Mila dan suaminya tidak lagi bisa dihubungi hingga aku datang mengambil mobilku di rumahnya, bersama dengan kakakku, kakak perempuan Mila, tetangga yang mengenalkan Mila ke penyedia pinjaman tersebut, lengkap dengan semua bukti kepemilikan mobil atas namaku.
Pihak penyedia pinjaman yang digedebusi Mila meminta penyelesaikan kepada keluarga Mila bila mobil terpaksa harus aku ambil. Tapi sang kakak tertua Mila, dari seberang telpon, memutuskan dan menyatakan bahwa keluarga Mila tidak akan mau bertanggungjawab karena tidak ada kaitannya dengan keluarga.
Kini, setelah aku lunglai, yang lemas kemudian adalah pihak penyedia pinjaman yang nilainya 20 juta tersebut. Mila tidak pernah kenal dengan dia sebelum dikenalkan oleh tetangganya yang bakul krupuk. Kini, yang kemudian melemas pula adalah tetangganya yang sudah kadung percaya kepada Mila.
Bila dihitung, hutang mbulet Mila ada sekitar 30 juta, dengan jumlah korban yang diperdaya setidaknya mencapai 5 pihak, dengan alasan-alasan ngapusi, antara lain:
1. Untuk berobat keluarga suaminya, ibunya di Madura,
2. Membuka usaha es krim di pinggir jalan,
3. Membayar denda suaminya yang memukul orang lain,
4. Keluarga suaminya baru saja menjual tanah senilai 240 juta dan dia dapat bagian separo, dan alasan lain yang tidak aku dengar sendiri.
Saking kebangetennya, kakak tertuanya sempat berujar begini:
"Andai saja dia mati atau dipenjara karena ulah hutang-hutang tidak bertanggungjawabnya bersama suaminya, saya rela," ujarnya.
Dan aku terus berlalu mengendarai mobil Avanza-ku, selamat sampai di rumah, berkat dibantu pihak keluarga Mila yang jadi korban. Aku masih berpikir, apakah Mila akan menghabisi keluarganya sendiri agar bisa menjual tanah warisan ayahnya yang hanya senilai 30 jutaan. Ah. Terlalu gelap. [badriologi.com]
Keterangan:
Cerpen ini saya tulis selama dua hari, yang terinspirasi dari kisah nyata.