Sapi untuk acara Haul Datu Sanggul, Tapin. Sumber: Banjarmasin Post. |
Oleh M Abdullah Badri
DALAM banyak momen ngaji di acara haul massal, kiai, wali atau leluhur desa, Gus Muwafiq sering menyindir bila sedekah yang dikeluarkan oleh warga desa setempat hanya berupa ayam atau kambing. Gus Muwafiq acap guyon begini: masak untuk kirim doa kepada orangtua hanya modal "kik...kik" ayam sembelihan.
Jumat, 5 Juli 2019, rombongan tamu dari Kabupaten Pati yang dulu pernah menghadirkan Gus Muwafiq untuk acara haul desa, menceritakan "keberhasilan" menghimpun sedekah sapi dari warga untuk kirim sedekah kepada leluhur. Ucapan dan sindiran Gus Muwafiq dalam ceramah, kata mereka, mantul (mantab betul), sehingga berhasil menggerakkan sedekah sapi untuk acara haul tahun berikutnya.
Gus Muwafiq kemudian menjelaskan manfaat ruhaniyah binatang kurban, yang menurut beliau, langsung bisa diterima oleh Allah Subahanahu wa Ta'ala (Swt.) bila disedekahkan kepada orangtua yang sudah meninggal. Alasannya sederhana, binatang itu makluk Allah yang tidak memiliki dosa. Beda dengan manusia berkirim doa, yang belum tentu langsung diterima Allah bila dia tergolong ahli maksiat.
Baca: Cara Gus Muwafiq Mendidik Mantan Preman Tobat yang Bandel Sundul Langit
Maka, agar sedekah kepada mayit sampai kepada Allah, ulama' zaman dulu hingga sekarang menyamakan dulu frekuensi ilahiyahnya dengan cara mengirim wasilah hadiah (hadlrah) Surat Al-Fatihah pertama-tama kepada Kanjeng Rasulullah Muhammad Shallahu 'alihi wa sallam (Saw.).
Hanya wasilah dan syafaat kepada Rasulullah Saw. sajalah amal perbuatan kita kelak diterima oleh Allah Swt, insyaAllah karena beliau adalah pembawa risalah Islam ila jami'il 'alam. Setelah Rasulullah Saw., para kiai melanjutkan kiriman Al-Fatihah kepada orang-orang yang dijamin masuk surga, yakni:
- Ahli baitin-Nabi, ummahatil mu'minin,
- Dzurriyatin-Nabi Muhammad,
- Para sahabat Nabi.
Untuk menambah kualitas frekuensi dengan Allah, hadlrah para kiai saat kirim doa sedekah biasanya ditambah dengan wasilah Al-Fatihah kepada:
- Auliya'illah minal masyriq ilal maghrib, khususon ahlil Qoryah.
- Ulama'illah wal 'arifina billah, khususon Sulthanul Auliya' Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani,
- Musahnnifin (penulis kitab-kitab).
Baru setelah itu, para kiai menyebut,
- Ajdadina (kakek nenek buyut canggah, dst),
- Aba'ina (orangtua kita),
- Ummahatina (ibu-ibu kita).
Dan terakhir, menyebut nama siapa yang dikirim doa sedekah dan bacaannya (yang dihadlrah-i). Urutan penyebutan wasilah di atas semata-mata agar kita yang masih hidup bisa menyamakan frekuensi ilahiyah dengan orang-orang terdahulu, utamanya kepada golongan yang dijamin masuk surga oleh Nabi Muhammad Saw.
Di alam barzakh-nya sana, orang-orang yang sudah meninggal sangat bahagia bila masih diingat oleh anak cucunya yang masih hidup di dunia. Bukanlah Nabi menyebut bahwa mayit itu kal ghariqil mughawwats (seperti orang tenggelam yang meminta pertolongan dengan sungguh-sungguh)?
Andai saja Allah Swt. membukan hijab (tabir) antar dunia yang berbeda, banyak manusia sekarang akan dimurka oleh nenek moyang mereka yang sudah meninggal akibat tidak mau meneruskan akhlak baik dan warisan bijak yang pernah dijalankan oleh mereka, dulu.
Baca: Usai Ceramah Gus Muwafiq di Istana, Banyak Duta Besar Menangis
Allah Swt. Maha Bijak. Dunia lain, alam barzakh, dihijab tebal oleh Allah Swt., sehingga orang-orang yang sudah meninggal hanya bisa melihat dan mendengarkan amal perbuatan anak-cucu mereka di dunia. Orang Jawa menggambarkan hal ini dalam tembang yang masyhur disebut dengan judul: Saben Malem Jumat.
Saben malem Jum’at ahli kubur mulih nong omah.
– Tiap malam jum’at ahli kubur pulang ke rumah.
Kanggo njaluk donga wacan Qur’an najan sak kalimah.
– Untuk meminta doa bacaan Qur’an walaupun hanya satu ayat.
Lamun ora dikirimi, banjur bali brebes mili,
Bali nyang kuburan, mangku tangan tetangisan,
– Tapi tidak dikirimi, langsung pulang berderai air mata di kuburan, berpangku tangan menangis sesenggukan.
Kebacut temenan ngger anak turunku.
– Keterlaluan benar anak keturunanku.
Kowe ora wirang padha mangan tinggalanku.
– Kamu tidak malu, makan dari peninggalanku.
Lamun aku bisa bali ning alam ndonya,
Bakal tak ringkesi donyaku sing isih ana.
– Seumpama aku bisa kembali ke dunia , akan aku kemasi hartaku yang masih ada.
Gus Muwafiq saat menerima tamu dari panitia haul di Kabupaten Pati, Jumat (5 Juli 2019) dan menjelaskan tentang frekuensi manusia dengan Allah serta pentingnya haul. Foto: dokumen pribadi penulis. |
Karena itulah Gus Muwafiq menyebut haul bukan sekadar perayaan, tapi bagian dari akhlak baik birrul walidain (berbuat baik kepada orangtua). Mendengar penjelasan ini, salah satu rombongan terlihat menangis haru hingga mengusap matanya berkali-kali.
Gus Muwafiq kemudian melanjutkan keterangan tentang kompleks makam yang dijadikan tempat acara haul diselenggarakan, seperti biasa beliau diundang pengajian haul waliyullah dan atau haul massal warga desa di beberapa daerah.
Ngaji bersama di makam atau kuburan itu penting. Pasalnya, kuburan adalah tempat, yang selain dihuni oleh sahibul maqam, sang terkubur, juga dihuni oleh makluk demensi lain. Jin dan makluk berdimensi lain inilah yang sangat merindukan bila ada pitutur luhur disampaikan dengan baik di kuburan, dan didengarkan bersama-sama oleh banyak manusia, apalagi dilengkapi mayoran sedekah meski ala kadarnya (menampakkan kerukunan).
Jin itu juga makluk, yang jelas membutuhkan siraman ruhani pula. Mereka ini tidak punya Nabi. Kasihan banget. Bila ingin mengenal Allah Swt. mereka harus bisa berbahasa manusia karena Nabi-nya adalah manusia, yakni Nabi Muhammad Saw. Di dunia mereka, tidak ada ulama', karena pewaris Nabi, semuanya adalah manusia.
Karena itulah, ketika ada pengajian kiai, baik di pesantren, masjid, mushalla atau lainnya, mereka biasa ikut datang mendengarkan. Mereka ini haus spiritual tauhid karena keterbatasan memahami bahasa manusia. Senajan sak kalimah, para makluk ghaib sangat bahagia bila mampu memahaminya dan dijadikan laku hidup, hingga bangga diakui sebagai umat Nabi Muhammad Saw.
Jin yang mampu memahami bahasa manusia, kata Gus Muwafiq, adalah jin yang intelektual, yang sudah biasa ngaji. Jin awam yang tidak pernah ngaji, mereka kesulitan memahami bahasa manusia, yang berhuruf, beraksara dan penuh dengan intonasi serta percakapan yang mengandung maksud sangat rumit, yang tidak dikenal dalam dunia mereka. Mereka tidak kenal kampus.
Kampus mereka adalah tempat yang biasa dijadikan ngaji seperti majelis ta'lim, masjid, mushalla, pesantren, makam, dan lainnya, akan dikesankan wingit karena banyaknya jin atau makluk lainnya yang ingin nyantri kepada kiai yang biasa mengajar rutin di sana. Banyak kan kiai yang memiliki murid dari bangsa jin? Mereka inilah yang frekuensi ilahiyahnya mudah ditangkap bangsa jin dan makluk gaib lainnya.
Menurut Gus Muwafiq, masjid adalah tempat paling banyak didatangi makluk Allah yang tidak tampak. Terutama ketika Jum'atan. Seperti umat Islam, tiap Jum'at mereka ini berombongan datang ke masjid hanya sekedar untuk mendengarkan senajan sak kalimah dari khatib Jum'at.
Baca: Ketika Gus Dur Mencium Tangan Gus Muwaffiq Muda
"Makanya, waktu ngantuk paling nikmat adalah saat kita mendengarkan khatib Jum'at bicara, karena saat itu, frekuensi dua dunia, antara yang tampak dan tidak tampak, sedang berdesak-desakan saling mendengarkan tausiyah Taqwa, laiknya sinyal hape di tempat ramai itu," terang Gus Muwafiq.
Tidak semua khatib bisa didengarkan ceramahnya oleh makluk halus saat Jum'atan. Hanya khatib-khatib yang ikhlash berkhutbah saja yang frekuensinya bisa nyambung dengan para makhluk tersebut, dan suaranya bisa ditangkap baik oleh makhluk-makhluk yang tidak memiliki Nabi dalam bahasa mereka itu.
Saat khutbah, khatib Jum'atan yang tidak memiliki frekuensi dengan Allah diibaratkan Gus Muwafiq seperti "penceramah di televisi yang volume tivinya mati". Sehingga, yang dilihat oleh mereka adalah umik-umik mulut bisu saja, yang tak berenergi sama sekali secara spiritual.
Sama halnya dengan bacaan Al-Qur'an yang diputar dengan kaset atau CD. Meski seharian diputar dan didengarkan tetangga sampai njudeki kuping (mengganggu telinga), jin tidak akan tertarik mendekat (dan apalagi bahagia) karena tidak keluar dan tidak bersumber dari makluk ciptaan Allah, mulut manusia.
Mereka tertarik dan bahagia bila dibacaan oleh manusia yang memiliki frekuensi ilahiyah dengan Allah Swt. Makin banyak nama Allah dan Nabi Muhammad dibaca di suatu tempat, mereka semakin bahagia. Banyak cerita mayhur juga kan, tentang seorang santri yang tirakat di belik (sumber air), makam atau lainnya, -membaca Al-Fatihah, Tasbih, atau bacaan wirid lainnya hingga ratusan ribu kali, tiba-tiba dia ketiban (kejatuhan) barang berupa akik, keris, atau gaman lainnya.
Menurut Gus Muwafiq, gaman hasil tirakat itu hanya hadiah dari makluk yang berumah di tempat tersebut karena dia tidak bisa membalas amal kebaikan bacaan sang santri yang tirakat tadi dengan apapun, kecuali yang dia miliki, yakni akik, keris, dll.
Mahkluk yang mukim di kompleks makam atau kuburan sangat menunggu datangnya siraman ruhani ketika warga desa menyelenggarakan pengajian berisi pesan tauhid dari Rasulullah Saw. Dengan haul, setidaknya mereka memiliki tradisi ngaji senajan sak kalimah, minimal setahun sekali, saat haul itu.
Membid'ahkan haul, dengan demikian, sama dengan giat buruk menjauhkan anak Adam dari birrul walidain yang sama maknanya dengan makin mengeringkan frekuensi ilahiyah serta menjauhkan makhluk tanpa Nabi itu makin berjarak dari Allah Swt. [badriologi.com]