Manfaat Merusak Logika Tradisi Disiplin Normatif -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Manfaat Merusak Logika Tradisi Disiplin Normatif

Badriologi
Minggu, 01 November 2020
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
manfaat disiplin yang dirusak sejak dini
Manfaat Merusak Tradisi Disiplin Normatif. Ilustrasi: badriologi.com.

Oleh M Abdullah Badri

KALA mendengar disiplin sahabatnya hendak dirusak oleh sang guru agar tidak sombong, dia bingung. Ketika guru mengatakan "mung rekoso yo cemen, nek wani rekoso, ya ora cemen dadine", dia juga bingung. Apa dua pemikiran itu keliru? Mari kita jawab soal disiplin dulu. 

Dimanapun yang namanya disiplin itu bagus. Terutama dalam riyadlah. Disiplin riyadlah adalah bagian dari sabda "al-istiqamah khairun min alfi karamah/istikamah lebih baik dari seribu keramat". Awas, istiqamah dalam hal lain bisa membuat mati kreasi dan inovasi. 

Masalahnya, orang yang hidupnya terlalu disiplin cenderung tidak bisa menerima hal lain di luar apa yang disebutnya normal, dan oleh karenanya, mudah menjustifikasi orang lain tanpa mendengarkan hati nuraninya. Mengapa? Karena disiplin itu punya logika normatif, lurus, baik-baik saja dan rasional terus. 


Lebih dari itu, sikap disiplin yang keras bisa membuat orang lain di sekitarnya mudah mendapatkan kelaliman. Dianya sendiri juga akan mengalami sikap teraniaya. Jadi, disiplin itu harus yang renggang. Seperti tali lambang NU itu loh, yang renggang tapi melingkar. 

Kalau saya pakai logika disiplin saat mendengar Abah Luthfi titip salam buat konco-konco dan minta maaf karena tidak bisa rawuh di pengajian Maulid Akbar Jama'ah Sarkub Jepara pada 29 Oktober 2020 kemarin, tentu saja saya akan menjadi manusia yang su'udzan dan sombong serta akan mengeluarkan sikap tidak setuju kepada beliau. Paham kan maksudnya?

Dalam hal makan misalnya. Disiplin makan itu tidak harus di waktu, yang wajib makan pagi (sarapan), siang dan mimik susu di malam hari. Tidak harus begitu. Habib Abdurrahman Puang Makka (Makassar) pernah menyentak perhatian saya ketika beliau mengatakan bahwa disiplin makan itu sebetulnya bukan di waktu, tapi di kebutuhan. 

Begitu kita merasa lapar, ya makan saja. Tidak peduli saat kita sedang di jalan, di rumah, atau dimanapun. Turuti saja keinginan makan itu ketika tidak niat berpuasa. Tapi, hentikanlah makan sebelum kekenyangan. Itulah disiplin yang diajarkan Puang Makka, sebagaimana ajaran Rasulullah Saw., dan saya ingat hingga sekarang. 

Saya menyebut proses makan dan tidur sebagai "momong awak" (merawat tubuh). Awak memang harus 'dimong' dengan makan dan tidur. Terlalu disiplin hingga menjadwal tidur dan manjadwal makan, potensial membuat remuk. Kalau ngantuk, ya tidur saja. Kalau lapar, ya langsung makan saja secukupnya. Tanpa memedulikan kapan waktu tidur dan makan kita dimulai. Berani?

Bagi saya, waktu tidur dimulai saat ngantuk, tanpa peduli jam. Saya tidak kuatir bangun pada jam berapa, karena tubuh tidak akan ada yang kuat tidur di atas 24 jam full, kecuali orang teler. Saya menjamin, Anda tidak akan bisa meniru laku ini bila Anda punya pekerjaan rutin harian dan profesional (dibayar). Risiko dipecat oleh ndoro.


Disiplin belajar juga harus renggang. Jangan ekstrim. Jadi orangtua jangan terlalu memaksa anak menjadi juara kelas atau menghukum anak dengan mengurungnya di rumah untuk dipaksa belajar lebih giat saat dia mendapatkan nilai jelek: L-. Itu potensi membuat kedhaliman kepada anak. 

"Pak, kulo nembe roso-roso sekolah," kata anak saya beberapa hari lalu. 

"Nggeh pun kak, njajan sana," jawab saya, sambil memberinya uang Rp. 2.000 untuk jajan di warung sebelah. Dan dia tidak saya larang menyaksikan teman-temannya sekolah dengan seragam, di sebelah rumah, sambil menikmati jajanan.  

"Anak tidak sekolah malah dikasi duit jajan," gerutu ibunya. Hahaha. 

Ya tidak apa-apa. Anak PAUD itu masih usia main. Ilmunya masih bubur. Jangan dipaksa menelan ilmu sate kambing. Hidupnya sebagai anak tidak traumatik, dan asyik. Saya sebagai orangtua pun merasa tidak lalim. 

Lek-nya juga wadul kalau anak kedua saya itu habis njotos temannya sampai menangis. 

"Lha kenapa?" Tanya saya ke adik, Pak Lek-nya. 

Dia akhirnya cerita. Anak saya njotos temannya karena temannya itu tidak mau disuruh pulang oleh ayahnya, yang mencarinya. 

"Pulang sana, sudah diperintah ayahmu gitu kok," pintanya sambil nyengkiwing baju temannya itu. 

(Cah cuwilik keta-kete, kata Lek-nya. Haha)

Karena tidak mau pulang, dia ditoyor sampai menangis. Saya hanya tertawa. Dan menjawab enteng, "berarti ponakanmu punya tabi'at amar ma'ruf nahi mungkar, Lek," Hahaha. Saya tidak memarahi anak, dan anak tidak takut bakal dimarahi ayahnya sebab "tukaran" dengan temannya. Meski begitu, tetap saya perintah meminta maaf. 

Logika yang saya pakai itu adalah berkah saya tidak berpikir normatif soal disiplin. Andai cara pikir saya terlalu disiplin, anak akan saya peringatkan keras. Lha bocah kok. Sekarang tengkar, besok bisa tukar jajan. Itu logika disiplin saya. Contoh-contoh lain masih banyak. 

Intinya, merusak tradisi disiplin ketat itu bisa memberikan kesempatan kita untuk lebih mendengar suara hati daripada standar hidup umum yang belum tentu memiliki nilai kebenaran hakiki. Dengan begitu, kita bisa berpikir yang untouchable dan unthinkable. Inovatif.

Karena itu, saya setuju dengan logika berpikir: "Mbogawe Wajib, Golek Duit Haram/Bekerja Wajib, Mencari Duit Haram". Kalau logika berpikir sampeyan masih normatif, sampeyan bakal mbulet mengartikan kalimat saya di atas! [badriologi.com]

Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha