Angin Ribut Pemuda Hijrah Wahabi di Jepara -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Angin Ribut Pemuda Hijrah Wahabi di Jepara

Badriologi
Rabu, 08 September 2021
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
sampul buku dzikir pagi dan petang al qahthani
Contoh Buku Dzikir Pagi & Petang. Foto: badriologi.com.


Oleh M. Abdullah Badri


PAGI itu, imam jama'ah Subuh di masjid telat. Ia kebelet pipis dan ijin ke toilet sebentar. Tanpa sungkan, pemuda yang kemarin hijrah maju tanpa ampun menjadi imam. Yang biasa menjadi imam pun akhirnya jadi makmum. Setelah ngimami, dia diam, sambil menghadap ke jama'ah. Di sini, dia jadi penyelamat Subuh berjama'ah. Bagus. Tapi...


Jama'ah lain jadi bertanya-tanya, terutama ibu-ibu di balik satir itu. Mereka menyoal, mengapa imam tidak berqunut? Siapa tadi imamnya? Mengapa juga tidak ada wiridan seperti biasa? Lingkungan masjid pun mulai resah, ribut. 


Sejak itulah, si pemuda mahasiswa yang pendiam dan dulunya tidak pintar ngaji sejak diniyah itu, jadi perbincangan orang sekampung. Ya. Dia dan orangtuanya kini sudah hijrah ke ajaran syadz wahabi-salafi aliran Firanda Andirja dan Khalid Basalamah (salafi ekstrim non politik), yang sering ngawur bicara fiqih tanpa pakem ushul fiqih madzhab. 


Baca: Sejarah Munculnya Tradisi Larung Kepala Kerbau 


Jama'ah shalatnya kwenceng. Sekenceng angin lah. Lima waktu full. Tapi bikin ribut. Dia dan adiknya masih rutin ke masjid (kadang bergamis), tapi ya itu, langsung cepat pulang walau hujan lebat mengguyur. Menurutnya, dzikir jahr (bersuara) usai shalat jama'ah itu bid'ah (Reza Basalamah menyebutnya nyanyi-nyanyi). Dzikir cukup di hati menurutnya. Salaman usai jama'ah juga tidak mau. Menurutnya, salim usai jama'ah bukan bagian dari shalat (ket biyen mulo ra, ndul!). 


Pemuda itu menutup diri, tapi ibunya sering share video ustadz yang membid'ahkan tahlilan, manaqiban, maulidan dan lainnya, di grup WhatsApp. Gara-gara itu, ibunya ditegur banyak tetangga se-grup. Tapi, ia tak bergeming, dan mengakibatkan percekcokan di lingkungan sekitar masjid. Kini, sang ibu tidak pernah lagi ke masjid. Menurut fatwa anaknya, perempuan lebih baik shalat di rumah. (Sungguh aduhai fatwa-nya). 


"Alhamdulillah, sekarang saya tidak maulid dan tahlilan, anakku menunjukkan jalan kebenaran," kata ibunya ke beberapa warga, suatu kali. Karena sudah menjadi "umat anaknya", ia keluar dari RT-nan dan pengajian muslimatan. Ia berikan semua catatan sebagai bendahara ke ketua. Alasannya, dalam RT-nan ada acara tahlilan dan tradisi bid'ah-nya. Nadhir masjid yang biasa membaca manaqib juga dia komentari sesat. Tuh, kan? Angin kencengnya bikin ribut.  

 

Angin makin ribut setelah ibunya memberikan buku saku "Dzikir Pagi & Petang" ke warga sekitar, yang disusun oleh Said bin Ali Al-Qahthani (penulis Buku Hisnul Muslim juga), mirip karangan Yazid Jawaz lah menurut saya. Diajak diskusi sulit, solusinya ya nyebar buku. Memang begitu lah misionarisme standar ala salafi wahabi. Kalau tidak nyebar buku gratis, ya mengundang ustadz ke kampungnya, untuk meracun, walau sak ndulit


Baca: Abah Luthfi: Ada yang Lebih Mengerikan Setelah Wahabi Lenyap


Mengapa begitu? Karena mereka, para pemuda hijrah itu, rata-rata baru belajar agama. Ustadznya nan jauh di Jonggol sana lah yang kelak bisa diandalkan. Mereka mah ngikut saja. Membebek sejak dari pikiran, membajak orang lain sejak dari kentut. 


Saya khawatir, bila tidak segera kembali, pemuda itu potensial cingkrang logika, secingkrang celana model Pakistan (bukan model Rasulullah Saw.), yang biasa dia pakai saat otw ke masjid. 


Salafi wahabi hanya langkah awal menuju gerakan radikalisme. Bahan baku pelaku terorisme tiada lain adalah ideologi yang digalakkan oleh para artis hijrah itu, bersama para ustadz mereka. [badriologi.com]


Keterangan:

Setelah dimuat penulis di Facebook pada 6 Agustus 2021, ternyata esai ini sudah duluan dimuat oleh media lainnya


Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha